Prolog

14.6K 1.9K 727
                                    

Ada satu hal yang tidak bisa Adriel pahami saat ini.

Ayasa.

Yah, anggap saja Adriel kegeeran—atau apa pun itu namanya, tetapi faktanya, Adriel sadar bahwa cewek itu terus menjauhinya selama dua minggu terakhir. Setiap kali diajak bertemu, jawabannya selalu sama: Maybe next time. Aku lagi ada urusan. See you. Yah, tidak literally sama, tetapi mirip-mirip seperti itu intinya. Padahal, yang Adriel inginkan tidak muluk-muluk. Hanya ingin bicara dan bertanya apakah ada yang salah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Ayasa selama sebulan terakhir terlalu mengejutkan. Adriel yakin benar, ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya itu darinya—hal yang tak pernah terjadi mengingat Adriel selalu menjadi tong sampah Ayasa tentang apa saja.

Apa karena cewek itu sudah memiliki pacar? Dari beberapa kabar yang sampai kepada Adriel, Ayasa memang menjalin hubungan dengan cowok bernama Oliver. Sudah seminggu, begitu laporan "saksi mata" (alias teman-teman cewek sekelas yang berbaik hati mengorek-ngorek info ketika Adriel meminta tolong. Man, they're so kind. Seriously). Satu fakultas dengan Ayasa—fakultas MIPA, hanya saja beda jurusan. Ayasa Matematika, Oliver Biologi. Untung saja, pikir Adriel. Mendengar mereka satu fakultas saja sudah membuat Adriel gugup, apalagi kalau sampai satu jurusan.

"Lo jealous, Bro." Cindy, cewek yang sering Adriel mintai tolong untuk mencari informasi tentang Ayasa akhir-akhir ini, memberikan komentar. "Well, lo boleh denial. Lo boleh bilang kalau kalian cuma sahabat—maksud gue lo sama Ayasa, ya. Tapi, menurut gue, lo cemburu pada saat bersamaan," kata Cindy lagi seraya menyesap kopi panas yang tersaji di depannya.

Adriel mengetuk-ngetukkan ujung telunjuk ke meja dengan gusar. Cemburu? Adriel menggigit bibir bagian bawah dengan pelan. "Kelihatan banget, ya?" Cowok itu menghela napas panjang. Ada jeda beberapa saat ketika pelayan kantin membawakan bakso pesanan mereka. "Gue enggak tahu. Di satu sisi, gue happy Ayasa udah punya pacar, tapi di sisi lain gue merasa agak tersisih. I mean—" Entah kenapa, kata-kata yang sudah tersusun di kepala Adriel hilang begitu saja.

"Iya, gue paham." Cindy bersedekap, tampak tidak berminat menyentuh bakso panas yang menguarkan uap tipis di hadapannya. "Tapi, lo kudu inget, Riel, lo cuma sahabat Ayasa. Sementara Oliver itu pacarnya. Sometimes, ada jarak signifikan antara yang namanya sahabat dengan orang yang berstatus pacar."

Adriel terdiam untuk beberapa saat. Benar. Bagaimanapun, posisinya hanya sebagai sahabat. Tidak lebih. Namun, entah kenapa, ada kegelisahan tersendiri menyadari fakta itu. "Gitu, ya?"

"In my honest opinion, ada dua kemungkinan kenapa Ayasa ngejauhin lo—menurut gue, lho, ya." Cindy menumpukan kedua tangan ke meja, menatap Adriel yang tengah menyuap bakso lekat-lekat. "Pertama, mungkin Ayasa berusaha buat ngejaga perasaan Oliver. Ya, ya. Anggap aja kami para cewek lebai atau klise, tapi serius, deh, lebih baik menghindari pertikaian daripada kudu fire sama pacar sendiri gara-gara hal sepele." Cindy memutar bola mata dengan jemu sebelum melanjutkan, "Dua, mungkin lo enggak sadar, tapi yang gue lihat, Ayasa ini sering banget di-bully, terutama secara verbal. Kalau fisik, sih, enggak pernah. Mungkin gara-gara aturan kampus lumayan ketat. Untungnya, sih, ya."

Sontak, dahi Adriel mengernyit dalam. Oke, dia bisa mengerti alasan pertama, tetapi apa hubungan alasan kedua dengan dirinya?

"Well, gue enggak bermaksud kompor atau apa. Cuma, kalau lo sadar, bully-an yang datang ke Ayasa itu selalu tentang hubungan kalian berdua." Cindy meringis kecil, mengangkat telapak tangan begitu dilihatnya Adriel ingin menyela. "Dengerin gue dulu. Lo tahu Ayasa itu bukan jenis cewek yang peduli sama penampilan, 'kan? Yeah, mungkin lo enggak sadar, tapi sahabatan sama cowok most wanted kampus itu rasanya nano-nano buat orang dengan penampilan pas-pasan dan punya isu insecure sama dirinya sendiri. Lo boleh ngelihat Ayasa itu sebagai cewek yang kuat dan tipikal bodo amat, tapi lo mungkin enggak tahu apa yang sebenernya dia rasain soal omongan usil orang di belakang kalian."

Adriel tertegun. "Jangan bilang waktu itu lo minta putus sama gue gara-gara ada yang ngomongin lo macem-macem di belakang?"

"Well." Cindy tampak enggan untuk mengakui. "Itu cuma satu di antara sekian banyak faktor penyebabnya. Santai, Riel. Lo tahu gue, 'kan? Udah gue labrak, kok, mereka." Cewek dengan rambut sebahu mengangkat bahu, terkekeh geli ketika dilihatnya Adriel tampak terkejut. "Ya ampun. Santai, Bro. Alasan utamanya bukan itu, kok. Walaupun gue akui pacaran sama lo itu kudu tahan iman. Ujung-ujungnya bakal dikomentarin netizen. Inilah. Itulah. Ada aja kurangnya. Yah, gue akui kalau gue banyak kurangnya emang ketimbang lebihnya, sih," Cindy menanggapi dengan santai.

"Jangan ngomong kayak gitu." Adriel menggeleng tegas, menunjukkan raut tidak suka yang kental. "Lo cewek paling baik yang pernah punya hubungan sama gue."

"Enggak sebaik Ayasa, tentunya." Cindy terkekeh. "Udah, ah. Jangan bikin gue baper, dong. Dasar lo kardus Ale-Ale," rutuk Cindy, yang langsung disambut tawa kecil oleh Adriel. "Tapi, yeah, kalau boleh jujur, alasan gue minta putus justru karena Ayasa."

Pembicaraan kembali ke mode serius. Adriel mengernyit, tampak terusik. "Maksudnya? Ayasa pernah ngusik lo?"

"Nope." Cindy menggeleng tegas. "Riel, jujur sama gue," Cindy menggantung kalimatnya beberapa saat, menatap lekat-lekat iris sekelam malam cowok di depannya, seolah mencari binar kejujuran di sana, "lo sadar enggak, sih, kalau lo itu sebenernya suka sama Ayasa?"[]

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang