Bab 5: Perasaan dan Egois

4.2K 340 170
                                    

"Aya!"

Ayasa mendongak, berhenti sejenak dari kegiatan membereskan alat tulis yang berserakan di atas meja, juga kepingan kalkulator yang menjadi korban kekerasan akibat frustrasi terhadap UTS mata kuliah matematika diskrit. Dilihatnya salah seorang teman sekelasnya melambaikan tangan, memberi isyarat bahwa ada seseorang yang menunggu Ayasa di depan pintu ruang ujian.

Ayasa mengangguk, balas memberi isyarat agar temannya itu meminta orang tersebut menunggu sebentar lagi. Ayasa merunduk, memungut kepingan terakhir dari bagian badan kalkulator yang terserak tak jauh dari kaki. Kalkulator sekian dalam semester ini, juga dalam tiga semester berkuliah. Semoga ini yang terakhir. Semoga. Repot juga kalau sampai harus membeli kalkulator baru dalam jangka kurang dari tiga bulan sekali.

Usai membereskan semua barang, Ayasa dengan cepat melangkah ke luar kelas dengan tas dijinjing di tangan kanan. Ketuk hak tinggi beradu mantap dengan lantai mengiringi langkah sebelum Ayasa terpaku. Membeku di tempat begitu melihat siapa yang menunggu di depan ruang ujian. Yah, siapa lagi kalau bukan Adriel? Ayasa seharusnya tidak perlu terkejut mengingat cowok itu kerap menyambangi kelasnya jika jadwal mereka tepat beririsan. Masalahnya, cowok itu tidak sendiri kali ini.

Sebuket besar mawar merah segar disodorkan tepat di depan Ayasa, membuat cewek dengan gaya rambut kucir kuda tinggi itu sedikit terkejut bercampur heran. Tidak tanggung-tanggung, sedikitnya ada dua puluh sampai dua puluh lima bunga mawar di sana. Ayasa dengan cepat menghitung. Dari sini, Ayasa bahkan bisa menghidu aroma wangi segar samar dari bunga yang diulurkan Adriel kepadanya. Namun, alih-alih tersanjung, Ayasa justru merasa ini sedikit berlebihan.

Ditepisnya ujung buket dengan telunjuk. "What are you doing?" Ayasa menggeleng, keningnya mengernyit. "Aku alergi bunga," katanya lagi.

Adriel memutar bola mata. Lagi. Hal yang nyaris tidak pernah Ayasa lihat dari Adriel. "Sejak kapan kamu alergi bunga? Seingatku, kamu cuma alergi tomat." Cowok itu menurunkan tangan, menarik kembali buket yang sempat terulur.

Refleks, Ayasa balas memutar bola mata, persis seperti yang dilakukan Adriel. "Sejak kemarin. Jauh-jauh dariku. Aku enggak su—"

"Mawar jenis bunga yang ramah kalau kamu emang alergi bunga." Adriel mengangkat dagu, menekankan kuat-kuat kalimat kalau kamu emang alergi bunga. Diulurkannya lagi buket berisi mawar segar yang sengaja dia pesan pagi-pagi dan dia jemput tepat lima belas menit sebelum Ayasa selesai ujian. "Terima. Aku benci orang yang bohong. Kamu tahu sendiri, 'kan?" Cowok itu berucap dengan santai, seolah-olah itu hanya selarik kalimat biasa. Namun, pada kenyataannya, itu memberi efek menusuk bagi sang lawan bicara.

Bodohnya aku! Ayasa tidak bisa untuk tidak merutuki dirinya sendiri. Sudah tertangkap basah berbohong, disindir pula. Double chaos. Ayasa mengembuskan napas panjang, mau tidak mau menerima karangan bunga yang diberikan Adriel kepadanya. Entah apa yang akan dia lakukan dengan benda ini nanti. Ayasa pun tidak terlalu paham terhadap seni bunga-bungaan. Toh, kalaupun disimpan, pada akhirnya akan layu juga. Mungkin akan dia buang saja di tempat sampah. Nanti. Kalau Adriel sudah pergi. Ya, ya. Mungkin sebagian orang berpikir sayang sekali jika harus dibuang. Namun, jika ujung-ujungnya layu dan terlupakan eksistensinya, lebih baik dibuang saja sekalian. Dan, tong sampah adalah tempat yang pas. Lebih-lebih lagi tempat sampah organik.

Ayasa memejamkan mata, menggeleng-geleng sendiri ketika bayangan ciuman di pipi dan pengakuan cinta Adriel kembali hadir membayangi. Mungkin sudah saatnya Ayasa membicarakan hal ini dengan si pelaku. Jika saja dua kejadian itu tidak memengaruhi Ayasa sejauh ini, dia mungkin hanya akan bersikap cuek bebek dan tidak terlalu peduli. Namun, ini sungguh di luar dugaan.

Ayasa hampir tidak bisa tidur semalaman. Bagaimana bisa jika setiap kali menutup mata dan mencoba tidur, pikirannya selalu melanglang buana kepada dua kejadian yang melibatkan Adriel itu. Tepat saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Ayasa bangun dari tempat tidur dengan mata yang terasa perih. Ayasa menjadi tidak fokus. Menata rambut pun dilakukan antara sadar tidak sadar.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang