Bab 15: Dugaan dan Tangis

2.1K 214 66
                                    


"Ada pertanyaan?" Dosen di depan kelas bertepuk tangan satu kali, meminta perhatian mahasiswa yang mulai bersiap untuk berkemas. Melihat tidak ada yang mengangkat tangan atau melempar pertanyaan, dosen muda tersebut kemudian mengangguk. "Baik. Itu saja untuk hari ini. Jangan lupa deadline besok. Tidak ada tambahan waktu." Setelahnya, dosen itu dengan langkah tegap meninggalkan kelas, diiringi beberapa mahasiswa yang sudah selesai berbenah.

Duh, Gusti! Ayasa menyandarkan punggung, mengusap wajah setengah hati. Alamat harus bergadang lagi malam ini. Ditambah besok hari terakhir UTS. Kombo yang membayangkannya saja sudah membuat Ayasa bengek. Ya sudahlah.

Cewek itu mengangkat bahu, meraih tas, dan berjalan keluar. Apa boleh buat? Ayasa tidak mungkin mangkir juga dari siksaan berlapis ini. Bisa kandas impian straight A pada semester killer ini. Tidak, tidak. Maaf saja. Daripada harus menyesal berkepanjangan, Ayasa lebih memilih melecut diri sendiri sekuat mungkin.

Ayasa melirik jam di pergelangan tangan. Setengah tiga sore. Mungkin akan lebih baik jika dia langsung pulang dan mulai mencicil tugas. Langkahnya ringan dan cepat ketika menuruni anak tangga. Dari lantai tiga menuju lantai dua. Terus menuju lantai satu hingga keluar dari gedung fakultas. Hujan. Ayasa mendongak sebelum tatapannya tertuju ke halaman yang dipenuhi genangan air. Tidak heran. Hujan benar-benar awet hari ini. Hanya berhenti sebentar tadi, lalu turun lagi. Bahkan, jauh lebih deras. Ah, harusnya tadi Ayasa berjaga-jaga dengan membawa payung saja sekalian. Jika sudah begini, yang bisa dilakukan hanya menunggu hingga hujan agak reda. Terlebih, letak parkiran agak jauh. Ayasa menghela napas, bersedekap untuk menghangatkan diri. Cuaca akhir-akhir ini memang tidak bisa ditebak.

Satu bersin meluncur begitu saja. Ayasa mengusap hidung, merasakan ada ingus yang mulai meler. Sepertinya dia benar-benar butuh vitamin tambahan. Bersin kedua menyusul. Tepat saat bersin ketiga akan terjadi, tiba-tiba saja, tanpa disangka, Ayasa merasa sesuatu mendorong bahu kanannya dengan keras. Tubrukan tidak bisa terhindarkan. Semua terjadi sangat cepat. Ayasa kehilangan keseimbangan. Berdiri di dekat anak tangga yang cukup tinggi memperburuk keadaan. Terdengar jerit tertahan dari sekitar. Namun, Ayasa tidak bisa melihat siapa. Kedua matanya refleks terpejam, merasakan tubuhnya limbung ke depan. Sepersekian detik, begitu saja, Ayasa sudah jatuh terjerembap di halaman kampus yang tergenang air dalam jumlah tidak sedikit.

Basah. Kaos. Kacau. Tangan Ayasa terangkat, hendak mengusap wajah sebelum satu jerit tertahan meluncur dari sela bibir. Seseorang menginjak kakinya. Begitu kuat dan bertenaga. Lagi-lagi, sangat cepat. Terdengar suara seseorang meminta maaf. Suara cewek, entah siapa. Hanya meminta maaf saja. Tidak ada niat membantu. Begitu Ayasa membuka mata, hanya ada dirinya di halaman depan gedung fakultas. Terduduk dengan lutut, telapak dan pergelangan tangan, serta dagu yang terasa perih. Luka gores yang cukup membuat meringis. Tubrukan—atau dorongan yang terjadi terlalu keras. Belum lagi pergelangan kaki yang berdenyut-denyut tak keruan. Ayasa mencoba menggerakkannya sedikit. Sakit. Sepertinya terkilir. Cewek itu bahkan tidak bisa berdiri. Semakin keras sia mencoba, makin menggila saja rasa sakit di pergelangan kaki.

Ayasa menoleh ke belakang, mendapati beberapa mahasiswa juga mahasiswi yang hanya menatapnya sejenak, lalu kembali ke urusan masing-masing. Cewek itu menggigit bibir bagian bawah pelan, mulai merasakan hujan agak reda. Namun, tetap saja. Diguyur hujan dan terduduk di genangan air yang tidak sedikit memberi kekaosan yang sungguh merepotkan. Sebisa mungkin, Ayasa mencoba berdiri. Lupakan dulu kekesalan atas semua yang terjadi. Juga dugaan apakah ini disengaja atau tidak. Entah kenapa, feeling Ayasa berkata ini seperti disengaja. Urus itu nanti, pikirannya menegur. Ya, minta tolonglah dulu, hatinya turut menguatkan. Kepada siapa? Ayasa tersenyum kecut, menggeleng kecil.

Baru hendak berdiri, sudah tergelincir lagi. Kali ini gara-gara high heels lima senti yang melekat manis di kaki. Menyebalkan. Ayasa berdecak, melepas sepatu, melempar sembarang ke arah yang bisa dijangkau nanti. Pelan tetapi pasti, Ayasa tertatih-tatih menaiki undakan dan duduk dengan napas mendebas. Cewek itu sedikit meringis ketika menekan pelan pergelangan kaki yang sempat terinjak entah siapa. Gusti! Ayasa menggeleng-geleng. Ada-ada saja hari ini. Diperiksanya buku-buku dan ponsel di dalam tas. Aman. Hanya sedikit yang basah. Selebihnya masih oke.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang