Bab 8: Kue dan Istimewa

3K 260 74
                                    


"Halo?"

"Ah, hai." Ayasa melirik Tiya yang memberi isyarat you can do it, Honey! dengan penuh semangat. Ekspresi yang tidak bertahan lama. Ketika Ayasa menunjukkan mimik memelas, membalas dengan tatapan Aya enggak bisa ngelakuin ini, Tiya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Galak. Dengan bibir mencomel tak jelas, kesal karena keberanian Ayasa yang menciut. Setengah hati, Ayasa melanjutkan pembicaraan, "Kamu sekarang di rumah?" tanya Ayasa, langsung ke intinya.

Oliver mengiakan di ujung sana. "Aku baru selesai mandi. Kenapa? Kamu mau mampir?" Cowok itu bertanya dengan suara lembut, membuat Ayasa bisa membayangkan Oliver tengah tersenyum sekarang ini.

Refleks, Ayasa ikut tersenyum meski hanya untuk beberapa saat. Ada sedikit keraguan ketika akan mengiakan. Lagi, sudut mata Ayasa menangkap ekspresi Tiya yang tampak gemas karena Ayasa seperti maju mundur. Antara iya dan tidak. Terlebih, Ayasa mengaktifkan loudspeaker, membuat Tiya bisa turut serta mendengar percakapan Ayasa dan Oliver. "Iya. Boleh?" Pada akhirnya, Ayasa tidak punya pilihan. Diliriknya Tiya yang duduk di seberang sana, mengangguk-angguk puas. Ayasa manyun lima mili tanpa bisa dicegah.

Terdengar tawa halus Oliver mengalun. Seperti genta angin yang merdu. Terasa menenangkan ketika mendengarnya. "Pintu rumah kami selalu terbuka buat kamu." Cowok itu berdeham, melanjutkan, "Kamu sekarang lagi di mana? Jangan bilang kalau lagi on the way ke sini? Main hape sambil nyetir? Bahaya. Simpan dulu hapenya. Aku siap-siap dulu. Aya, jangan pegang ha—"

"Aku masih di rumah, kok." Ayasa tertawa kecil, menggeleng-geleng. Cewek itu mengangkat wajah, mendapati Tiya ikut tertawa. Mungkin sama-sama merasa geli mendapati betapa cerewetnya Oliver. "Oh, ini pesan Mama." Ayasa melirik Tiya yang mengangguk. Cewek itu mengembuskan napas, menguatkan mental ketika berkata, "Enggak usah siapin camilan. Mama titip sesuatu."

"Sampaikan makasihku buat Tante Tiya. Dengan senang hati." Oliver terdengar antusias, tidak tahu bahwa Ayasa justru merasakan hal sebaliknya. Deg-degan setengah mati. Dia bahkan bisa membayangkan bagaimana reaksi Oliver nantinya ketika Ayasa datang dan memberikan "titipan" dari Tiya. "Bentar. Ada panggilan masuk. Enggak apa-apa, 'kan, nunggu bentar?"

Ayasa menggeleng meski sudah tahu Oliver tidak akan bisa melihatnya. "Satu jam lagi aku bakal ke sana. See you there."

"See you, Love."

Panggilan berakhir.

"Satu jam dan tiba-tiba hujan deras turun." Tiya mendengkus, memberi isyarat ke luar jendela yang menghadap langsung ke taman belakang. Tatapannya mengarah ke langit sore yang tampak kelabu. Benar-benar peralihan cepat, mengingat sebelumnya matahari bersinar terang tanpa noda awan sedikit pun di langit. "Ide bagus buat ngeles dan enggak jadi pergi."

Apa Ayasa sudah pernah mengatakan dia tahu benar menurun dari siapa sifat senang menyindir ketika sedang bad mood yang dimilikinya? "Mama enggak lupa sama ini, 'kan?" Ayasa menarik sejumput rambut di kepala. Terlihat menyedihkan. Pecah dan rusak. Terasa kasar begitu disentuh. "Ini perlu waktu yang enggak sebentar buat ngerapiinnya." Mungkin karena masih terbawa kesal, tanpa sengaja nada bicara Ayasa menjadi agak ketus.

Tentu saja. Ayasa pikir, Tiya mengajak membuat kue hanya untuk bahan belajar dan santapan pribadi. Bukan untuk dibagikan ke lidah selain mereka yang ada di kawasan rumah ini. Maka dari itu, ketika Tiya menyatakan kalau kue hasil buatan Ayasa harus dibagikan kepada Adriel dan Oliver, Ayasa sebagai penanggung jawab nasib kue yang masih berada di dalam oven langsung speechless. Tidak berkata apa-apa ataupun bereaksi saking kagetnya. Ada apa dengan Tiya? Itu yang menyembul di kepala Ayasa ketika tersadar beberapa menit kemudian. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Padahal Tiya harusnya tahu betul apa pun yang dimasak Ayasa lebih condong kepada yang namanya kegagalan. Terlebih kue seperti ini.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang