Bab 6: Cerita dan Rahasia

3.6K 295 90
                                    

Kabari aku kalau udah sampai rumah. Oke?

Ada rasa bersalah yang menyelinap ke dalam dada ketika Ayasa membaca pesan dari Oliver di layar ponsel. Cewek itu menghela napas panjang, mengetikkan balasan dengan cepat.

Aku udah sampai, kok. Aman.

Kebohongan lain yang Ayasa lakukan. Setidaknya, dia tidak perlu membuat Oliver yang sudah repot-repot mengajak, lantas khawatir ketika Ayasa menolak ajakan makan siang. Sori, Ollie. Aku sudah on the way balik ke rumah. Begitu balasan yang Ayasa berikan untuk menampik ajakan tersebut. Padahal, kenyataannya, saat itu Ayasa masih di area kampus dan baru beranjak ketika taksi online datang lima menit kemudian. Oliver membalas dengan santai, berkata tidak apa-apa. Mungkin lain kali.

Send. Kurang dari semenit, status chat berubah menjadi centang dua biru. Cewek itu memijat kening yang entah kenapa kembali berdenyut tak keruan, mendapati Oliver kembali mengirimkan balasan.

Istirahat yang cukup. Perbanyak minum air putih. Cuaca lagi enggak menentu. Kamu perlu tenaga ekstra buat ngadepin UTS selanjutnya. Sedikit lagi. Semangat. I love you.

Ollie .... Ayasa tersenyum kecil, mengetikkan balasan dengan hati menghangat setelah membaca chat terakhir yang Oliver kirimkan.

Thank you, Ollie. I know that.

Chat selesai. Ayasa dengan lunglai mematikan ponsel, menatap ke luar jendela. Masih perlu beberapa menit sebelum sampai di rumah—sesuai alamat tujuan yang diberikan Adriel kepada sopir Gocar. Ayasa menyandarkan punggung ke jok, berusaha mengatur napas yang terasa seperti berkejar-kejaran sekarang ini.

Tarik. Embuskan. Ulangi. Ayasa memejamkan mata, mencoba untuk menenangkan diri, terutama pikiran dan perasaan yang seakan bertubrukan satu sama lain. Ayasa kecewa. Sangat. Kepada dirinya sendiri yang tidak becus menyelesaikan masalah dengan Adriel. Bukannya membuat semuanya menjadi clear, masalah baru justru turut mengintai. Juga kepada Adriel. Ke mana Adriel yang selama ini dia kenal?

"Sekarang, coba kamu posisikan diri sebagai aku. Orang yang enggak tahu apa-apa, tiba-tiba dijauhi begitu aja. Sampai di satu titik aku bingung sendiri. Persis kayak orang linglung. Enggak tahu arah dan, parahnya, enggak mendapat petunjuk sedikit pun."

Tiba-tiba saja, rentetan kalimat itu kembali berdengung di kepala Ayasa, membuat kepalanya yang sudah berat tambah penat. Ayasa bisa mengerti sudut pandang yang Adriel maksud. Tidak ada yang menyenangkan dari sesuatu bernama ketidakpastian. Namun, di sisi lain, dia sadar jika hanya mementingkan perspektif Adriel dan mengabaikan perasaannya sendiri (persis seperti yang Ayasa lakukan pada masa lalu), hal itu hanya akan membuat semuanya kian rumit. Ya, mungkin apa yang dikatakan Adriel memang benar. Mereka berdua egois.

Mungkin karena terlalu banyak berpikir hingga lupa daratan, ketika taksi daring yang dia tumpangi sudah sampai di depan rumah, Ayasa tidak sadar sama sekali. Begitu sopir Gocar menegur, memberi tahu bahwa mereka telah tiba di alamat tujuan, baru Ayasa tersadar. Buru-buru cewek itu mengangguk, membuka pintu, dan keluar seraya mengucap terima kasih. Plus embel-embel akan memberi tahu si pemesan yang asli, Adriel, untuk memberikan bintang lima. Anggap saja apresiasi karena sudah memberikan Ayasa ruang untuk me time dengan tidak cerewet bertanya macam-macam (serius, kebanyakan driver yang Ayasa temui sebelum ini gampang kepo dengan urusan orang lain).

Dua kata yang menggambarkan kondisi Ayasa saat ini: sakit kepala. Ditambah kucir tinggi yang terlalu kencang, juga rambut ekstensi dua kali lipat dari biasanya, rasanya ubun-ubunnya ditarik paksa sampai hendak lepas dari tempatnya. Jika hanya sekadar rasa sakit konstan pada kulit kepala, Ayasa sudah biasa. Namun, terhuyung hingga akan jatuh jelas bukan hal yang bisa disepelekan. Hampir saja Ayasa mencium tanah jika Kang Rahmat, satpam yang sudah bekerja puluhan tahun di rumah mereka, tidak menahan lengan Ayasa agar tidak terjerembap.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang