Bab 19: Defensif dan Kilasan

1.6K 195 47
                                    


Satu notifikasi muncul di layar preview. Buru-buru Ayasa melirik, berharap itu balasan dari Oliver. Harapan yang dengan cepat pupus. Grup kelas. Pemberitahuan bahwa kelas selanjutnya dimajukan dari pukul satu menjadi pukul sepuluh. Ayasa menghela napas panjang, mematikan ponsel. Berusaha sebisa mungkin fokus dengan dosen di depan sana.

Berhasil, meski tidak lama. Ayasa memijat pangkal hidung, frustrasi sendiri. Penjelasan dosen yang biasanya mudah dicerna dan dipahami, entah kenapa menjadi rumit dan mbulet. Cewek itu menurunkan pandang, menatap binder yang hanya berisi catatan random tidak terarah.

Ayo, Aya! Ayasa menyemangati diri sendiri agar lebih fokus. Lima belas menit lagi dan kelas akan bubar. Lima belas menit yang terasa lama. Merangkak lambat. Begitu kelas berakhir dengan diberikannya tugas, Ayasa langsung menyandarkan punggung ke kursi.

Mungkin dia harus mencoba menghubungi sekali lagi. Ayasa melirik ponsel di dekat binder beberapa saat. Meraih benda tersebut, mencari kontak Oliver, dan melakukan panggilan. Tidak ada respons. Tiga kali panggilan, semua berujung nihil. Ayasa menyerah. Seharusnya dia sudah tahu. Status Oliver terakhir dilihat kemarin, pukul dua belas lewat tujuh siang, yang seharusnya sudah cukup memberi warning yang jelas.

"Masih ada satu jam lagi." Cindy yang duduk di sebelahnya menceletuk dengan tatapan fokus pada ponsel di tangan. "Kantin? Gue belum sarapan dari pagi," ajak Cindy seraya berdiri dan meraih tas yang ada di bawah kursi.

Ayasa menggeleng, mengibaskan tangan. "Lo duluan aja. Gue mau nyicil tugas di perpus." Cewek itu melambaikan lembar portofolio polos penuh coretan kepada Cindy sebelum memasukkannya ke tas.

"Nanti gue nyusul." Cindy mengangguk, berbalik seraya melambaikan tangan. "See you there." Cewek itu sempat terlihat menyapa beberapa orang mahasiswa yang memasuki ruangan, tanda bahwa kelas selanjutnya akan dimulai.

Ayasa bergegas menyimpan alat tulis ke dalam tas, merapikan diri sebentar sebelum beranjak ke luar ruangan. Beberapa mahasiswa kelas berikutnya tampak mengangguk ketika berpapasan dengan Ayasa. Hal yang disambut serupa oleh si bersangkutan. Hanya beberapa. Itu pun kebanyakan cowok. Sementara para cewek ... ah, entahlah. Ayasa benar-benar tidak ingin membicarakannya sekarang. Sudah cukup dia pusing dengan satu masalah. Tidak perlu ditambah menjadi dua.

Ayasa mengusap wajah, mencari ponsel di antara saku celana. Tidak ada. Ayasa mengernyit, melakukan hal yang sama di tas. Tidak ada juga. Gusti! Pasti ketinggalan di kelas. Ayasa menepuk dahi. Pelajaran berharga agar jangan kelewat melamun ketika beres-beres dan akan meninggalkan kelas.

Buru-buru Ayasa berbalik. Baru beberapa langkah, terlihat seorang cewek keluar dengan ponsel yang familier di mata Ayasa. Ponselnya.

"Ah, hei."

Cewek itu menggaruk tengkuk dengan ujung telunjuk. Ayasa tidak pernah melihat cewek itu sebelumnya, membuatnya segan langsung berbicara terang-terangan.

"Boleh gue lihat? Hape gue ketinggalan dan bentuk sama warnanya mirip dengan yang lo pegang."

Cewek di depan Ayasa itu mengangguk, menyerahkan ponsel tersebut tanpa banyak berpikir. "Kursi paling belakang. Baris nomor dua dari kanan?" Cewek itu memastikan yang disambut anggukan oleh Ayasa. "Berarti itu emang punya lo."

Ayasa mencoba mengaktifkan. Menekan kode keamanan sebanyak empat digit. Tanggal dan bulan kelahiran Ariana Grande. Berhasil. Sudah jelas ini miliknya. "Trims."

Cewek di depannya mengangguk, tanpa banyak bicara langsung kembali ke dalam kelas. Perawakannya langsing dan tinggi. Dengan rambut ikal kemerahan. Tampak familier, tetapi Ayasa tidak terlalu ingat. Dia mengedikkan bahu. Mungkin hanya perasaannya saja.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang