Bab 7: Bicara dan Kenangan

3.1K 283 96
                                    

Terdengar denting bel tak lama setelah Adriel selesai memesan sepotong roti, menandakan ada pelanggan selain dirinya. Suasana toko tengah sepi. Hanya ada Adriel dan pelanggan yang baru datang—entah siapa. Adriel juga tidak peduli.

Cowok itu baru bereaksi ketika terdengar seseorang memanggil. "Hei, Riel!" Suara cewek. Familier.

Adriel menoleh ke belakang, mendapati seseorang yang sangat dia kenal menyapa dengan bonus senyum lebar. Siapa lagi kalau bukan Cindy? Cewek itu tampak bersemangat ketika melambaikan tangan tinggi-tinggi, membuat crop top yang dikenakannya tersingkap. Ditemani seorang cowok entah siapa (Adriel tidak kenal. Boro-boro. Melihat wajahnya saja tidak pernah), Cindy berjalan mendekat. Tanpa canggung, Cindy memberi satu pelukan singkat yang dibalas hal serupa oleh Adriel.

"Lo kelihatan lebih pucat dari biasanya," komentar Adriel setelah mengamati lebih jeli penampilan Cindy malam ini. Cewek itu tampak sedikit low energy dibanding biasanya. "Sakit?"

"Ah, enggak juga. Biasa. Asam lambung menggila." Cindy menyengir.

"Pantes tadi siang gue enggak ngelihat lo di ruang ujian."

Cindy mengangkat bahu. "Dokter bilang gue kudu istirahat satu dua hari. Jadi, ya, gitu. Gue enggak apa-apa, kok. Sans." Cewek itu mengibaskan tangan, seolah itu bukan hal penting untuk dibahas pada pertemuan pertama setelah seharian tidak bertemu. "Oh, iya. Kenalin. Ini Rian." Cindy tersenyum lagi, tampak semringah ketika menyentuh bahu cowok yang berdiri di sebelahnya. "Ini Adriel yang sering gue ceritain," kata Cindy lagi. Kali ini kepada Rian yang manggut-manggut, mengerti.

Rian mengulurkan tangan, tersenyum lebar hingga membuat kedua belah matanya seperti terpejam. Adriel baru sadar itu eye smile yang cukup menarik untuk ukuran seorang cowok. "Rian."

Adriel menyambut uluran tangan cowok di depannya, ikut tersenyum meski tidak seriang lawan bicaranya. "Adriel."

"Nama kita mirip, by the way. Aslinya, temen kampus manggil gue Adrian. Rian itu nama panggilan yang dikasih Cindy. Katanya rawan ketuker sama sahabatnya dia. Adriel. Oh, sori. Gue kebanyakan ngomong. My bad habit." Rian meringis ketika Cindy menyikut tulang rusuk sampingnya.

Adriel mengangkat sebelah alis, tidak terlalu tertarik untuk menanggapi. Benar. Cowok di depannya itu terlalu banyak bicara. Lebih-lebih, yang dibicarakan sendiri bukan hal penting. Buang-buang waktu saja jika harus meladeni orang seperti Rian. Cukup didengarkan dan beri respons secukupnya. Adriel hanya mengangguk sekilas, baru angkat suara lagi ketika Rian permisi ke kamar mandi setelah memesan roti.

"Kapan jadiannya?" tanya Adriel tanpa basa-basi seraya mengajak Cindy untuk duduk di kursi tunggu panjang, membuat yang ditanya langsung memasang ekspresi what? yang kental. Adriel mengangkat bahu. "Cuma nanya."

"Well, gue sama Rian emang deket. Tapi, saat ini kami cuma temenan. Oke? Dia enggak ada hubungannya sama alasan kenapa gue minta putus, just for your information kalau mau nanyain hal itu lagi." Cindy bersedekap, mengamati ekspresi Adriel untuk beberapa saat sebelum bertanya, "Lagi ada masalah?"

Hening. Adriel tidak mengiakan, juga tidak menyanggah. Cindy yang sedikit banyak paham dengan tabiat Adriel dengan cepat menyadari ada sesuatu yang salah. Diam tanda iya. Adriel punya masalah, tetapi enggan mengaku.

"Tentang Ayasa, ya?" tanya Cindy pelan, yang disambut anggukan kecil oleh yang ditanya. "Kenapa lagi?"

Adriel mendebas, menegakkan posisi duduk yang sama sekali tidak memberi kenyamanan. "Entah kenapa, gue ngerasa, jarak antara gue sama Ayasa makin jauh." Cowok itu menyugar sebentar sebelum menunduk, membuat sebagian rambutnya jatuh menutupi dahi. "Apa salah kalau gue ngarep semuanya balik kayak dulu?" Adriel berucap lirih. Hal yang tak pernah cowok itu tunjukkan kecuali kepada segelintir orang, dan Cindy salah satunya.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang