Bab 3: Bersalah dan Mengerti

4.8K 442 206
                                    

Entah sudah berapa kali Ayasa mengusap kepala, memainkan rambut panjang sepunggungnya, memilinnya sampai kusut sendiri. Oke, ini yang terakhir. Buru-buru Ayasa menarik telunjuk kanannya yang melilit rambut. Sudut matanya melirik Oliver yang duduk di samping kanan, tampak menikmati menu makan siang yang sama dengannya—soto dan secangkir teh tawar hangat. Oliver ikut mencuri pandang, membuat tatapan mereka bertemu. Ayasa sontak langsung membuang pandangan lurus ke depan.

Tidak pernah secanggung ini. Ayasa memijat keningnya yang berdenyut tak nyaman. Setiap kali teringat kejadian beberapa waktu lalu, rasa-rasanya Ayasa siap menggelinding ke laut kapan saja. Atau, sekalian saja mengubur diri dalam-dalam. Apa saja, asalkan tidak bersitatap atau bertemu dengan Oliver untuk beberapa lama. Minimal sampai rasa malu yang hinggap hilang. Ayasa bisa merasakan kedua belah pipinya memanas ketika tanpa sengaja teringat kejadian tersebut, seolah siap meledak saking malunya.

Adriel. Ayasa mendesis tertahan. Pokoknya dia harus membuat perhitungan nanti.

"Aya." Satu tepukan lembut di bahu membuyarkan lamunan Ayasa. Cewek itu menoleh, mendapati Oliver menelengkan kepala dengan ekspresi heran. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Oliver lembut.

Ayasa tergagap, tersenyum tipis setelah dengan cepat menguasai diri. Cewek itu menggeleng pelan. "Aku enggak apa-apa." Didorongnya mangkuk soto ke tengah meja, tanda sudah kenyang—atau lebih tepatnya, selera makan Ayasa sudah terbang entah ke mana sedari tadi. "Sori. Enggak apa-apa, 'kan?" Ayasa meringis, merasa tidak enak kepada Oliver yang mentraktir. Mau bagaimana lagi. Terlebih, Ayasa bukan penggemar soto, seenak apa pun itu. Dia baru sadar mengiakan tawaran Oliver untuk makan siang di salah satu warung soto dilakukan dengan autopilot.

Oliver tersenyum, mengangguk. "It's okay." Cowok itu dengan santai menarik soto Ayasa yang masih tersisa lebih dari setengah ke arah dirinya sendiri, menyengir lucu. "Buatku, ya? Enggak apa-apa, 'kan?" Tanpa menunggu persetujuan yang ditanya, Oliver dengan cepat menyendok dan memasukkan satu suapan penuh soto "sisa" Ayasa ke mulutnya.

"Hei! Jangan, Ollie!" Ayasa menarik paksa piring berisi soto tersebut sebelum Oliver melakukan suapan kedua. "Pesan baru aja, ya? Aku yang traktir. Ini," ada jeda beberapa saat sebelum Ayasa melanjutkan dengan ragu, "bekas aku aduk enggak keruan. Rasanya mungkin bakal aneh." Ayasa menggaruk tengkuk dengan ujung telunjuk, makin tidak enak hati.

Hening sejenak. Baik Ayasa maupun Oliver tidak ada yang berbicara. Satu dua orang pelayan warung melewati mereka, mengantar pesanan ke meja lain. Oliver celingak-celinguk, memastikan tidak ada yang akan lewat lagi dalam jangka waktu dekat. Warung tengah sepi. Hanya ada mereka dan beberapa pelanggan. Semua sudah dilayani dan tengah menikmati makanan masing-masing. Harusnya, pelayan tidak akan lalu lalang lagi untuk mengantar pesanan.

"Aya," ujar Oliver dengan suara rendah, membuat yang dipanggil menoleh. "Kamu marah sama aku?" tanya Oliver pelan. "Aku benar-benar minta maaf. Itu bakal jadi yang terakhir. Janji." Sorot mata cowok itu melembut, membuat Ayasa kian tidak nyaman.

Ayasa kesal, tentu saja. Oliver memang kerap terlambat jika mereka membuat janji, tetapi tidak pernah sampai separah hari ini. Menunggu hingga berjam-jam bukan pekerjaan yang menyenangkan. Terlebih tanpa ada kabar dari cowok itu meski Ayasa sudah berulang kali mencoba menghubungi. Ayasa tidak memungkiri dia sedikit kecewa. Lebih-lebih, Oliver yang mengajak. Lain cerita jika sebaliknya.

Ayasa pikir, Oliver benar-benar lupa dengan janji mereka. Atau, bisa saja cowok itu memiliki urusan yang tidak bisa ditinggalkan dan lupa memberi kabar. Ayasa mencoba maklum saja. Ketika Oliver tiba-tiba saja datang dan menepuk bahunya, reaksi pertama Ayasa tentu saja kaget. Berlanjut dengan kesal. Namun, itu tidak berlangsung lama. Melihat Oliver yang terengah-engah dengan napas memburu dan wajah memerah, dengan cepat memadamkan amarah yang akan menyala di dalam dada Ayasa, berganti dengan rasa simpati.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang