Bab 18: Kacau dan Kecewa

1.9K 211 97
                                    

Ayasa tidak pernah secemas ini. Langkahnya tergesa. Napasnya memburu. Cewek itu bahkan sempat nyaris terpeleset saking buru-burunya. Namun, Ayasa tidak peduli. Ditekannya bel berulang-ulang, tidak sabaran. Kurang dari dua menit, pintu terbuka, menampakkan Cindy yang tak kalah gesit mengajak Ayasa masuk setelah menutup pintu. Menaiki anak tangga. Menuju lantai dua. Kamar paling ujung sebelah kanan. Ke sanalah mereka bergegas.

"Gimana keadaannya?" Ayasa menyejajarkan langkah dengan Cindy seraya mencoba mengatur napas. "Sori. Macet as usual."

"It's okay." Cindy mengangguk paham. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu yang familier di mata Ayasa. Warna cokelat mudanya melekat kuat di ingatan. Kamar Adriel. "Enggak begitu baik. Ngelihat kondisinya, gue rasa rencana buat ngajak dia ke dokter enggak akan berhasil. Seharian dia cuma gelung di bawah selimut. Makan pun males meski udah gue paksa." Cewek itu menghela napas panjang, membukakan pintu. "Gue udah telepon dokter. Lagi on the way ke sini."

Ayasa mengangguk, melangkah masuk. Tidak pernah seasing ini. Kapan terakhir kali dia memasuki ruangan ini? Ayasa menggigit bibir. Rasanya sudah lama sejak terakhir dia menginjakkan kaki ke sini. Ruangan favoritnya di rumah ini. Aman, nyaman, dan selalu membuat terkenang. Kepada perdebatan kecil di antara mereka. Kenangan menghabiskan waktu bersama. Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tidak mudah melupakan semua yang terjadi di antara mereka. Tanpa sadar, Ayasa mengusap kedua sudut mata. Tidak ingin Cindy menyadari ada sesuatu yang salah.

"See?" Cindy yang beberapa langkah di depan berbalik, memberi isyarat dagu ke arah Adriel yang berbaring di bawah selimut. Benar. Literally bergelung. Seperti kucing yang tengah kedinginan. Bergelung untuk menghangatkan diri.

"Riel?" Cindy duduk di samping ranjang, menepuk dan menggoyang-goyangkan tubuh Adriel setelah menyingkap selimut yang menutupi seluruh badan, termasuk kepala dan wajah. "Wake up. Lo belum makan seharian ini." Tidak ada respons. "Bro."

"Cin ...." Perlahan, Adriel membuka mata. Suaranya parau, tetapi masih bisa didengar dengan jelas. "Aya enggak datang, ya?"

Ayasa tidak bisa menahan diri untuk tidak terenyuh, entah kenapa. Dia sudah sering menghadapi Adriel yang sakit. Demam adalah cerita lama. Cowok itu mudah sekali drop jika kurang beristirahat dan terlalu memforsir diri. Ayasa sadar benar dengan hal itu. Namun, kali ini berbeda. Seolah ada sesuatu yang lain. Menyentil kuat perasaan Ayasa. "Aku di sini."

Adriel melirik Ayasa yang berjalan, lalu berdiri di sebelah Cindy. Cowok itu kembali memejamkan mata, menggeleng pelan. "Pasti cuma mimpi."

Perasaan itu dalam sekejap berubah menjadi kekesalan. Ayasa mendengkus, meminta Cindy untuk mundur sebentar. Panas-panasan. Meminta sopir mengebut secepat-cepatnya dan berujung dihardik secara halus. Beberapa kali nyaris terpeleset yang untungnya tidak sampai jatuh. Sekarang, dengan mudahnya Adriel mengatakan bahwa Ayasa yang sudah datang dengan segala perjuangan itu hanyalah mimpi. "Wake up." Satu cubitan mendarat di pipi, membuat yang dicubit langsung terbangun meski sorot matanya sayu, diiringi ringisan pelan. "Mimpi dahimu!" Ayasa merutuk pelan.

Adriel mengaduh tertahan, mengusap pipi sebelum beralih mengucek pelan kedua mata. Cowok itu mengerjap beberapa saat, menatap Ayasa lekat-lekat. "Cin, sejak kapan lo jadi kelihatan kayak Ayasa?"

"Sembarangan!" Ayasa memelotot, menggerutu pelan. Tidak tahu bahwa Cindy yang berdiri beberapa langkah di belakang menahan tawa. "Sejak kapan Cindy jadi kelihatan kayak aku? Enggak heran Cindy ngedumel di telepon. Kamu enggak jelas. Resek kalau lagi sakit."

Adriel menaikkan sebelah alis, mengangguk-angguk takzim. "Bener juga. Sejak kapan Cindy jadi jelek kayak Aya?"

"Tolong, jangan mengundang huru-hara dan pertikaian pada pagi yang cerah ini." Ayasa mendengkus untuk kesekian kalinya, nyaris melempar wajah Adriel dengan bantal jika tidak ingat ada Cindy yang tengah menyaksikan kelakuan mereka berdua.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang