Chapter 11

587 23 8
                                    

UNEASE FEELING


"Selamat pagi Zaki." Sebuah suara lembut menyapaku di pagi hari ketika aku baru saja tiba di halte tempat perjanjian kami.

"Pagi Sa. Sori yak gua telat banget. Padahal kan gua udah wa lu jalan aja duluan. Takut telat." Balasku menyapa sosok wanita cantik yang menjadi mimpiku selama lebih dari dua semester.

"Gak pa-pa kok. Aku tungguin kamu aja. Kalo telat ya telat sama-sama aja. Iya kan? Kan kita udah janjian mao berangkat kuliah sama-sama."

"Kalo elu telat tar temen lu tuh si pawang jin bakalan gebukin gua lagi Sa." Sahutku sambil tersenyum. Rasanya ingin meledak dalam kebahagiaan saat orang yang selalu kita impikan ternyata rela menunggu cukup lama kedatangan kita.

"Hahahahaa. Kamu selalu bisa bikin aku ketawa deh Ryu." Maa, kimi wa kireida. Ingin rasanya aku mengucapkan kalimat itu kepadanya, hanya untuk mengungkapkan betapa cantik dirinya saat tertawa. Andai aku memiliki keberanian untuk itu. Cara Khansa tertawa terlihat sangat manis. Dengan tangan sedikit menutupi mulutnya.

"Masa sih? Yuk mingkem dulu Sa, itu angkotnya udah dateng. Tar kita disangka orang gila lagi, ketawa mulu. Kaga dikasih naek ama supirnya."

"Ihhh... dasarrr." Serunya sambil mencubit lenganku pelan. Dan itu langsung membuat jantungku berdebar-debar tidak terkontrol dengan mulut tersenyum lebar.

"Kamu kenapa telat Ryu? Kesiangan ya bangunnya?" Tanyanya ketika kami sudah duduk di dalam mobil angkutan kota bersebelahan.

"Oh gak. Gak kesiangan kok. Cuma tadi pas mao jalan ngeliat ada kucing lagi adu panco. Nonton dulu bentar sambil taruhan." Sumpah, aku gak tahu ngomong apa. Mulut asal jeplak aja karena jantungku rasanya hampir meledak ini.

"Ihhh tuh kan. Ditanyain serius juga." Balasnya sewot kembali mencubit lenganku. Waakkkksss, gak tahaan lagi nih jantung. Helep pliss.

"Aduduhh. I-i-iya tadi ada masalah sedikit di rumah Sa." Aku yakin wajahku sudah sangat memerah ini.

"Masalah? Ada masalah apa emang Ryu?" Tanyanya dengan wajah terkejut.

"Bukan aku sih. Cuma masalah keluarga aja Sa. Bukan masalah apaan kok." Membicarakan itu membuatku jadi kepikiran kembali keadaan tante Irene.

Aku sempat bertanya kembali ke tante sebelum aku berangkat, tentang apa tidak lebih baik jika aku tetap di rumah menemaninya. Namun ia dengan tegas terus memaksaku untuk pergi kuliah juga. Walau wajahnya terlihat galak seperti biasa, namun aku juga menyadari bahwa tante hanya berusaha untuk terlihat tegar di hadapanku. Agar aku tidak terlalu memikirkannya dan bisa fokus kuliah.

"Ryu? Kamu mikir apa?" Pertanyaan Khansa sedikit mengejutkanku. Rupanya tanpa sadar pikiranku melamun memikirkan keadaan tante yang sedang sendirian di rumah. Memikirkan bagaimana ia harus menghadapi masalah pelik itu sendirian.

"Eh? So-sori Sa. Gak mikir apa-apa kok." Jawabku kikuk. Aku tentu saja tidak ingin membicarakan masalah keluargaku ini, bahkan terhadap Khansa sekalipun.

"Kamu bisa kok cerita ama aku kalau kamu lagi ada masalah." Ujarnya lagi.

"Eh? I-iya Sa. Thanks ya." Jawabku memaksakan diri untuk tersenyum.

Dan hasilnya, terjadi berbagai obrolan yang cukup canggung diantara kami sepanjang perjalanan, hingga kami tiba di kampus.

Aku, berangkat ke kampus bersama dengan wanita pujaan para pria sefakultas DKV, tentu saja hampir semua mata - para pria, tepatnya - terpaku ke arah kami berdua. Aku tersenyum geli saat menyadari ini akan menjadi gosip terpanas satu fakultas. Aku bahkan dengan usilnya memberikan gestur ke kenalanku dengan memberikan tanda jempol ke bawah saat melewati mereka. Dan langsung dibalas berbagai makian heboh dari mereka hingga suasana jadi semakin riuh.

OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang