Chapter 14

465 16 1
                                    

STARTING OVER


Aku hanya terpana mendengar ucapan om Rusdy kepadaku di ruang tunggu. Aku mempersilahkan om Rusdy untuk masuk lebih dahulu menemui tante yang baru sadar dari kondisi kritisnya. Namun hanya sesaat om Rusdy langsung keluar lagi dengan wajah murung. Ia mengabarkan tante ingin menemuiku terlebih dahulu, dan meminta om Rusdy untuk keluar.

Aku mungkin memahami bagaimana perasaan tante ketika bertemu kembali dalam keadaan seperti ini, namun aku terkejut tante mengusir om untuk segera keluar tanpa mau berbicara lebih jauh selain memintanya untuk memanggilku.

Di sisi lain, aku juga tidak memiliki keberanian untuk menemui dan melihat wajah tante lagi. Setelah apa yang telah aku lakukan terhadapnya semalam itu, tindakan yang sangat tidak pantas aku lakukan terhadapnya. Bagaimana aku bisa menemuinya setelah aku menodai kehormatannya seperti itu.

"Udah, kamu temuin tante dulu Jak sana. Gak usah banyak mikir." Ujar om Rusdy berusaha untuk bersikap seperti biasa. Walau aku bisa melihat raut kekecewaan di wajahnya. Andai saja om Rusdy mengetahui keponakan yang telah ia anggap sebagai anak kandungnya ini telah mengotori tubuh istrinya, tante kandungku sendiri.

Aku masih tetap diam terpaku dan tertunduk. Rasanya aku malah ingin melarikan diri dari sini. Aku tidak tahu bagaimana aku harus meminta maaf kepada mereka berdua. Hingga sebuah tepukan keras di pundakku menyadarkan lamunanku. "Ayo sana cepetan."

Dan akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain bergerak maju untuk masuk ke dalam ruangan ICU dan menemui tante Irene. Aku memang merasa aku harus meminta maaf kepada tante Irene atas apa yang telah aku lakukan kepadanya. Hanya saja rasa malu dan juga takut untuk bertemu langsung dengannya, membuat tubuhku langsung gemetaran.

Langkah demi langkah, semakin dekat jarakku dengan tante, membuat degup jantungku terasa hampir meledak rasanya. Kalau saja tidak ada om Rusdy di belakangku, tentu aku sudah memilih untuk melarikan diri daripada harus menghadapi tante Irene lagi.

Aku bisa melihat sosok tante yang terbaring di tempat tidur, hanya saja pandangan mataku tertuju ke bawah. Tidak berani untuk melihat langsung kepadanya. Keringat bercucuran di sekujur tubuhku, walaupun suhu di ruang ICU ini cukup dingin.

Bahkan hingga aku telah berada di sisinya aku tetap tidak memiliki keberanian untuk menatap matanya langsung. Hingga tangannya dengan pelan mendekap tanganku, dan kemudian memanggil namaku. "Zaki. Maafin tante ya? Udah bikin susah kamu."

Mendengar suara lemah tante yang memanggil namaku dan bahkan meminta maaf kepadaku, langsung membuatku berlutut di samping tubuh tante dan mendekap tangannya di pipiku. "Maafin Zaki, tan. Maafin Zaki udah... udah ngelakuin itu ke tante. Udah kurang ajar ama tante. Maafin Zakii tann." Ujarku di tengah tangisanku.

Ada keheningan selama beberapa saat, dan hanya suara isak tangisku yang terdengar sebelum aku merasakan sentuhan lembut di kepalaku. Tangan tante yang satu lagi berusaha untuk mengusap rambutku. "Bukan salah kamu kok sayang. Tante yang udah bikin susah kamu. Tante justru malu sama kamu Zak. Walau tante emang lagi mabuk, tapi tante cukup menyadari kalau tante lagi manfaatin kamu buat bales dendem ama om kamu itu. Tante, gak seharusnya ngelakuin itu ke kamu."

Penjelasannya itu tidak cukup untuk menenangkanku, dan bahkan membuatku mendekap tangannya semakin erat, sampai akhirnya tante memintaku untuk berdiri. "Lihat tante, sayang." Ujarnya kemudian ketika aku telah berdiri namun tetap melihat ke bawah.

Dengan ragu-ragu aku menaikkan kepalaku, hingga akhirnya pandangan mata kami saling bertemu satu sama lain. Aku melihat sebuah senyuman lembut tante Irene. Wajahnya masih terlihat pucat dan lemas. Namun satu senyumannya itu rasanya telah mengangkat beban terberat di pundakku ini.

OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang