Lentera

1.6K 194 11
                                    


"Mana putraku?"

Tanya Ely, ibu String. Dia melangkah memasuki rumah dengan jendela biru besar melengkung di depannya. Dengan kusen kayu yang berada tepat di tengah ruangan lebar dipenuhi kompeni.

Ely mengedarkan pandangannya. Lalu matanya tersabut oleh sosok laki-laki jangkun yang pernah lebih pendek darinya. String, dia tersenyum lebar saat melihat ibunya yang berdandan cantik melangkah dan menemukan dirinya yang sudah sedari tadi menunggu di tempat yang sama.

Senyum merekah di wajah Ely. Menyaksikan putranya mengenakan seragam perang dunia dua yang berwarna kecoklatan pudar. Dia memegang pundak putranya, matanya berkaca-kaca.

Ada sebuah kata yang ingin ia ucapakan. Namun Ely bertahan untuk tetap diam. Wajahnya String mengingatkan pada mendiang suaminya yang meninggal sebelum String lahir ke dunia. Sangat mirip, bahkan Ely dapat melihat rahang yang sama kuatnya.

Ely memeluk putranya. Sangat rindu. String membalas pelukan itu.

"Berapa tahun?" Tanya Ely.

"Sekitar sepuluh tahun, Ibu" jawab String.

Deham keras mengagetkan mereka berdua. Ely melihat kakaknya bersandar pada salah satu pintu. Menatap dirinya yang melepas rindu dengan String.

"Aku hampir meneteskan air mata" kata Thomas sembari tersenyum.

Dia menghampiri Ely. Memeluknya dan mempersilahkannya duduk.

Mereka bertiga duduk. Saling berhadapan. Di bawah naungan lampu minyak khas Jawa, mereka saling menatap.

"Bagaimana kabarmu, Ely?" Tanya Thomas.

"Sebaik dahulu. Nampaknya kau semakin tua" gelak Ely.

Thomas hanya menanggapi dengan senyum simpul. Di sesapnya rokok yang mengepul itu, lalu menghembuskan nya.

"Masih menghisap barang itu?" Tanya Ely.

Thomas tak menjawab. Ia malah sekali lagi menyesap cerutu tersebut dan menghembuskan nya di depan Ely. Itu sudah cukup jelas menjawab pertanyaan Ely.

"Lalu bagaimana denganmu, Nak? Pamanmu keras terhadapmu?" Tanya Ely.

String menatap Thomas. Thomas hanya diam, bahkan ia tak menatap String.

"Ti-tidak, Paman baik hati"

"Dia berbohong" sanggah Thomas. "Aku hampir membunuhnya"

String memainkan jari-jarinya. Thomas tak menyembunyikan kebringasannya. Bahkan ia tak menyembunyikan perihal tentang malam itu.

***

"Berulang kali"

Netra Thomas berkilat. Sedangkan desir angin menyambut bentakan itu dengan tenang.

"Hanya itu keinginanku, Paman. Kumohon" String memohon.

"Kau tak perlu memohon untuk gadis itu. Dimana harga dirimu?"

String diam. Wajahnya menunduk. Sedangkan sepatu hitamnya berderit saat ia hendak melangkah lebih dekat ke arah pamannya.

"Dia wanita hina. Hidup miskin dengan pemikiran sempit" kata Thomas perlahan.

String masih diam. Menahan amarah.

"Dia hanya seonggok daging yang gunanya hanya untuk dinikmati"

"TIDAK!" String membantah. Wajahnya merah padam. "Lalu apa bedanya denganmu?"

Tak terima String mendengar hinaan tersebut terlontar untuk Siwi.

"Ah, sudah lah. Sudah cukup"

Thomas mengambil senapannya. Menodongkan tepat ke arah kepala String. Gerakannya tak ragu. Dalam pikiran Thomas, String adalah sistem imun yang menahan pergerakan virusnya untuk membunuh sel-sel yang ada.

"Tembak paman! Itu tak akan merubah siapapun dirimu yang sudah membusuk" Tantang String.

Geram Thomas. Ditarik pelatuk senapan tersebut. Suara menggelegar terdengar dari dalam kantor Thomas, memecah siang bolong tersebut dengan suara keras peluru.

Nafas Thomas naik turun. Menatap lubang peluru di dinding kantornya. String mengerjap, dia tidak mati. Pelurunya meleset. Tidak-tidak, Thomas tidak menembak String.

"Pergi!" Perintah Thomas.

String tak menjawab. Dia langsung keluar begitu saja. Sedangkan Thomas kembali duduk dan meletakkan senjatanya. Ia menatap langit-langit lalu berbisik.

"Gila ternyata aku"

About StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang