"Kurang ajar kamu!" Pak Handro ingin mencekik pemuda di hadapannya. Namun tangannya berdenyut, dia mengerang dan memegangi lengannya.
String tersontak mundur. Rasa bersalah bersesalan di dadanya. Membuatnya sesak dan memegangi dadanya yang sakit luar biasa. Dia mundur, tangan kirinya masih memegangi dada. Sedangkan tangan kanannya berusaha meraba pohon mana saja yang bisa menopang tubuhnya.
Punggung String menyentuh sebuah pohon. Dia sedikit menunduk, dadanya naik turun. Kepalanya berdenyut, tangannya mengepal.
Pak Handro berjalan tertatih. Lalu memegang pundak pemuda itu. Mereka berdiam, saling mencoba menahan sakit.
"Kembalikan dia pada saya. Saya mohon"
String tak menjawab. Matanya tertuju pada kakinya sendiri. Keringat menetes turun dari rahangnya yang bergemeretak karena dingin.
"Bersumpah lah padaku!" Bentak Pak Handro.
"Tidak bisa" Nafas String berulang kali tersenggal. Dia masih menunduk sembari menekuri kakinya sendiri.
"Saya tidak sanggup" wajah String mendongak. Keringat mengucur ke seluruh badannya. "Saya tidak sanggup. Maafkan saya"
Air mata turun dari pelupuk mata String. Membuatnya menggeleng berulang kali dan menunduk lagi.
Seguk String ternyata dibarengi seguk Pak Handro juga. Kedua pria itu menangis untuk satu gadis yang amat mereka cintai. Yang amat mereka sayangi. Yang lainnya rindu karena lama tak jumpa, sedangkan yang lainnya ketakutan untuk kehilangan.
Pak Handro lemas. Tubuhnya ambruk ke belakang, dia masih sadar namun tak sanggup untuk bangkit.
Menyaksikan hal itu. String segera berbalik, meninggalkan laki-laki tua tersebut sendirian di antara semak belukar.
String berlari. Menembus malam dengan penglihatannya yang mencoba menerawang jalan sekitar.
Aliran udara dingin turun dari pegunungan. Menghembuskan udara yang menusuk ke tulang-tulang String. String menyeka air matanya. Dia harus tegar, dia tak boleh air mata mengusap semua akal sehatnya.
String melangkah sempoyongan. Digenggamnya laras panjang dengan tangan yang gemetar. Dia kemudian menjejak di hamparan sawah yang membentang. Matanya yang merah karena menangis dapat melihat kerlipan obor di seberang sawah tersebut.
Dia dengan perlahan menjejakan kaki di antara sawah-sawah yang menghijau. Bulan kelabu mengintip dirinya dari balik awan gelap yang menggantung di langit-langit.
Gunung besar menjulang di kanannya. Menghembuskan angin yang terus saja membuat String menggigil.
String sampai di seberang. Pandangannya menelusuri tempatnya sekarang. Dia berjaga. Dengan sedikit menunduk String mencoba melangkah ke belakang rumah kayu yang berpendar nyala api dari dalam.
Dia berjinjit-jinjit dan mengintip ke dalam. Ada kakek tua di sana, dan seorang gadis kecil sekitar tujuh tahun yang tertawa riang sembari mengamati gerakan lilin yang menari di atas botol kaca penuh minyak tanah.
String berjalan perlahan menuju sisi pintu dan sesegera mungkin merangsek masuk.
Kakek itu nampak terkejut, dia sedikit mundur dan langsung menggendong gadis di sebelahnya.
"Diam!" String mengancam.
Kakek itu gemetar. Dia bungkam dan hanya bisa mundur dan terus mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding kayu.
"Saya hanya ingin bertanya" lanjut String. "Desa apa ini?"
"A...anu. Desa Suluk Belo" ujar si kakek dengan terbata.
"Berapa lama jika hendak ke Batavia?"
"Setengah jam jika berjalan"
String diam sebentar. Dia kemudian berlalu, meninggalkan rumah tersebut dengan sedikit mengendap ke sisi belakang.
***
Halooo, udah lama Thor nggak nyapa.
Jangan lupa tinggalin komen ya. Komen kalean di cerita Batavia bikin Thor senyum-senyum sendiri kek kurang gizi:V Trus, komen di sini juga yaa.
Cuma aja, maaf updatenya lamaaaaaaaa. Pikiran Thor kecampur ama praktek laboratorium yang menumpuk alias nggak kelar-kelar.
KAMU SEDANG MEMBACA
About String
Historical FictionThe Netherland Diary Nb: (Sequel dari cerita Batavia, oleh Indiani Ling) *ORIGINAL COVER BY UNKNOWN* *COVER EDIT BY INDIANI LING*