Aku tak pernah berharap banyak tentang semua kata-kata sumpah serapah mu itu.
Karena aku yakin. Di balik mata dingin mu, ada cinta untukku.Siwi
Circa 1920***
Mata Siwi menatap angkasa. Angin dingin menembus bajunya yang kotor. Namun dia enggan untuk masuk ke dalam. Padahal Dewi sudah menunggu dengan sabar di ambang pintu.
"Kau tidak mau masuk?" Tanya Dewi lagi entah kesekian kalinya.
Siwi menengok. Dia tersenyum tipis dan berjalan mendekati wanita tersebut.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan ku"
Siwi tersenyum manis. Dia kemudian masuk bersama Dewi yang perutnya membuncit semakin besar.
Dari kejauhan String menatap gadis itu yang rambutnya kian panjang. Sudah lama String tak menatap senyum manisnya.
Padahal waktu mereka kecil dahulu. String sering sekali menatap senyum Siwi.
Dia tersenyum tipis. Baginya sudah terlambat untuk menghapus sebuah tulisan panjang ini.
String memilih kembali ke kamarnya. Dia duduk di atas ranjang dengan tubuh lelah.
Dia melepaskan bajunya. Tubuhnya yang tinggi berotot itu nampak masih kuat. Namun tidak dengan jiwanya.
Dengan menatap langit-langit kamarnya. Dia mulai menyusun rencana. Tinggal beberapa minggu lagi. Kepalanya serasa berat akhir-akhir ini.
Dia harus bertindak atau tidak sama sekali. Besok, yah besok. Besok waktu yang tepat.
***
"Tuan String?" Suara itu membuat String menoleh.
Gadis pribumi yang hampir setiap hari datang untuk mengambil pakaian kotor tersebut menatap String dengan polos.
String mengambil beberapa tumpuk bajunya, lalu meletakkannya ke keranjang anyaman bambu yang gadis itu bawa.
"Terima kasih" ucap String.
Gadis itu mendongak. Tatapannya aneh menatap String, apalagi setelah dia berucap 'terima kasih'.
"Ah, sudah pergilah!"
Gadis itu menurut. Dia cepat-cepat pergi ke kamar lainnya dan mulai mengetuk.
"Sebaiknya tak usah ku katakan hal itu tadi" String berbisik pada dirinya sendiri. Dia langsung mengambil bajunya dan cepat-cepat mengenakannya.
Matanya sekilas menatap pada laras panjang yang berada di sisi kasurnya. Diam berdiri seakan berbisik pada String untuk turut serta membawanya.
Namun pemuda itu nampak tak perduli. Dia keluar kamarnya tanpa senjata. Menatap sekitar yang lagi-lagi ramai oleh tentara medis.
"I say down!"
Suara itu menarik perhatian String. Dia menatap Beltz yang berteriak-teriak frustasi dengan seseorang di atas mobil.
"Ah, shit. You are idiot" ucap Beltz lagi dan lagi.
"Hei?"
Suara String membuat Beltz seketika langsung menoleh. Dia sedikit menjauh mengingat kejadian beberapa hari lalu.
"Why you scream?" Tanya String.
"Dia bodoh sekali. Sudah kubilang untuk menurunkan barangnya ke tanah, tapi dia malah menurunkan barangnya dengan dilempar" Beltz menunjuk pada tentara di atas mobil yang menatap dengan alis memincing.
"Itu alat kesehatan. Dan dia menurunkannya dengan cara dilempar. Oh, aku bisa gila lama-lama" ujar Beltz.
"You understand?"
"Ya, aku mengerti Pak" jawab tentara di atas mobil itu pada String.
"Lalu kenapa?"
Tentara itu malah tersenyum licik ke arah String.
"Tak ada gunanya alat kesehatan itu. Kita sudah hampir kalah" tentara itu turun dari mobil. Dia kemudian melenggang begitu saja pergi meninggalkan Beltz dan String.
Beltz menatap String dari balik topinya. Dia diam dan enggan untuk menanggapi. Tapi orang tadi ada benarnya juga pikir String. Kekuatan mereka di tanah jajahan sudah tak sekuat dahulu lagi.
🚧🚧🚧
Maaf, ya. Partnya thor buat cuma sekitar 500 kata. Dan maaf juga kadang hiatusnya lama banget.
Maaf banget(。•́︿•̀。)
KAMU SEDANG MEMBACA
About String
Historical FictionThe Netherland Diary Nb: (Sequel dari cerita Batavia, oleh Indiani Ling) *ORIGINAL COVER BY UNKNOWN* *COVER EDIT BY INDIANI LING*