Niel memasuki kelasnya dengan sedikit lesu. Hari Senin memang menjadi hari paling menyebalkan menurut Niel, dia tidak suka... bukan! Bukan hanya dirinya, semua orang juga tidak menyukai hari Senin. Apalagi tadi saat berangkat ke Sekolah, Bagas sempat menceramahinya pasal kejadian hari Sabtu kemarin.
Bagas juga Ona memang sedang tidak berada di rumah saat itu karena bekerja, dan Niel berhasil lewat dari ceramah Ayah karena keluar dari rumah lewat balkon. Meski pulangnya Ayah menunggu dengan wajah garang di depan pintu. Itu juga penyebabnya Bagas menjadi geram atas kelakuan Niel.
"Heh! Itu muka udah mirip baju Dika aja, lepek." Celetuk Gian begitu Niel mendudukkan dirinya. "Habis ngapain sih lo?"
Niel menggeleng, melipat lengannya diatas meja lantas menjatuhkan kepalanya diatas lengan. Mengundang decakan Hazel yang memang telah datang lebih dulu daripada Niel.
"Kalau sakit ya diem di rumah! Entar pingsan nyusahin." ucap Hazel tanpa menoleh pada Niel.
Niel sendiri memilih acuh tidak ingin perduli akan kehadirannya teman sebangkunya itu. Dia menghela nafas pelan, merasa sedikit pusing dan mual. Mengapa sakit datangnya harus mendadak.
"Jam pertama pelajaran olahraga. Kalau lo mau nih makan roti punya gue." Hazel meletakkan roti isi coklat punyanya di hadapan Niel.
Keheranan Niel mengangkat kepalanya menatap Hazel bingung.
"Jangan salah paham dulu, gue bukannya mau damai sama lo tapi kasihan aja Gian kalau lo sampai pingsan." Alibi Hazel sebelum Niel sempat mengeluarkan suara. "Sampai kapanpun lo tetap saingan gue!"
"Gue udah makan, makasii." tolak Niel mendorong roti itu kembali pada pemiliknya. Kemudian dia bangkit menuju tempat Gian.
"Lo kenapa sih? Sakit? Kena marah? Atau galau?" tanya Gian bingung akan sikap Niel. "Tapi lo kan enggak punya pacar, siapa yang lo galauin?"
Niel menggeplak kepala Gian karena asal bicara. "Besok hari apa?"
Gian menggaruk tengkuknya bingung. "Lo enggak amnesia hari kan?"
"Jawab aja susah amat."
"Ya Selasa lah bego! Sekarang kan Senin, gimana sih lo."
"Terus? Besok ada apa?"
Kernyitan halus terlihat pada kening Gian, "Besok? Besok ada... ulangan Fisika nyet! Bangsat! Kenapa lo inget-inget sih? Gue tau lo pinter fisika Niel tapi gue kan enggak." Gian menggeplak lengan Niel kesal.
"Bete gue lama-lama." Niel pergi meninggalkan kelas dan Gian yang bergerutu jengah. Memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.
Niel memilih lapangan indoor menjadi tempatnya berdiam diri, menghilangkan rasa kesal. Niel menghembuskan nafas, mengambil bola basket di lapangan lantas bermain sendirian. Dia kesal karena orang rumah maupun sahabatnya sendiri lupa besok adalah hari spesial untuknya.
Namun, Niel juga tidak boleh mengutamakan perasaannya. Karena wajar jika mereka lupa, tetapi termasuk saudara dan orang tuanya Niel tidak bisa mewajarkan, mungkin benar Niel terlalu sensitif.
Menit ke-15 seseorang datang merebut bola orange itu dari pegangan Niel, memasukannya dengan tepat kedalam ring. Lantas menatap Niel datar, begitu juga sebaliknya. Mereka saling tatap selama beberapa detik sebelum Niel membuang muka.
"Gue Adit." Dia anak baru yang kini menggantikan Niel menjadi teman sebangku Gian. "Bel udah bunyi lo mau disini terus? Mukak lo juga udah merah kaya kebakar." Adit baru saja akan berbalik pergi sebelum Niel menghentikan langkahnya.
"Lo kesini gara-gara nyari gue?" tanya Niel bingung.
Adit tersenyum manis berbeda dari pertama mereka bertemu, "Enggak juga... cuma tadi kebetulan lewat, terus lihat lo sendiri di sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
ZAT PADAT
Genç KurguAvniel tidak berharap dilahirkan menjadi bungsu, karena mempunyai 3 Abang dan 1 Kakak perempuan bukannya berkah malah musibah. Masih dianggap bocah lah, disuruh-suruh, buatin ini buatin itu. Tetapi Niel tahu semua saudaranya perhatian pada Niel, ap...