23 Mei 2003
Suasana begitu mencekam kala itu, raut wajah Cakra yang awalnya terlihat berseri-seri berubah menukik tajam menjadi penutup penjelasan dari Ayahnya. Dia memiringkan kepala tidak mengerti akan jalan pikiran sang Ayah. Sebelahnya Nawang —istrinya menggenggam tangannya erat dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah udah gila?" tanya Cakra menatap Ayahnya kecewa.
Saat itu Cakra dapat melihat senyum Ayahnya mengembang tanpa rasa bersalah, "Kamu punya tiga putra lainnya Cakra yang dapat meneruskan semua usaha kamu, ditambah sebentar lagi kalian berdua akan mendapatkan gelar Dokter. Jadi tidak usah khawatir bukan." ujar Ayahnya kala itu membuat Cakra mengepalkan kedua tangannya erat.
"Masa bodo dengan pewaris aku tidak butuh karena semua anakku akan mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka." Cakra tertawa, sumbang. "Aku benar-benar kecewa! Ayah tega menumbalkan cucu Ayah sendiri demi uang."
"Bukan begitu nak, tapi ini demi kalian juga. Dan Ayah punya janji yang harus Ayah tepati Cakra kamu harus mengerti."
"Tapi tidak dengan menukarkan anak bungsu ku juga!" bentak Cakra reflek menjadikan anak-anaknya yang tengah berada didalam kamar tersentak kaget kemudian keluar menghampiri sang Ayah.
Bagas yang saat itu baru memasuki umur ke-8 melangkah pelan menghampiri Ayahnya, "Kenapa Ayah? Adek kecil bangun karena denger Ayah bentak-bentak." ujarnya segera diraih oleh Nawang begitu pula si kembar yang mengikuti kemana kakak sulungnya pergi.
"Yayah jangan mayah-mayah gitu, Ona atut." Nawang mengusap rambut Ona kecil lembut.
Cakra mengusap wajahnya gusar, "Maafin Ayah ya sayang, sekarang kalian bertiga masuk kedalam ya jaga adek Mars sama adek Avniel, oke?"
Si kembar menoleh kepada kakak sulungnya menunggu keputusan, si sulung yang mengerti harus berbuat apa menarik pergelangan tangan kedua adiknya membawa mereka pergi menuju kamar.
"Tapi Yayah janji jangan bentak-bentak lagi ya, nanti adek nangis." ucap Atha sebelum menghilang tertelan pintu.
Sepeninggal ketiga anaknya Cakra kembali memusatkan perhatian kepada Ayahnya, berusaha sebisa mungkin mengontrol emosi agar tidak kelepasan seperti sebelumnya.
"Ayah lihat mereka, mereka bahkan ngasih aku nasehat karena suara aku yang buat adek mereka bangun dan Ayah tega mau misahin mereka?"
Nawang terisak, berjongkok dihadapan Ayah mertua, "Nawang mohon Ayah jangan pisahkan Nawang dari Avniel, dia bahkan baru 8 bulan. Dia masih butuh Nawang." Mohon Nawang menggenggam kedua tangan Ayah mertuanya.
"Kalian baca ini dulu dan tidak ada yang bisa dilakukan lagi, Ayah sudah terlanjur menandatangani semua surat-surat itu..."
Avniel bergeming hanyut dalam pikirannya sendiri sedangkan Adit menghembuskan nafas pelan.
"Jadi isi perjanjiannya itu sama kaya surat yang gue kasih buat lo, tentang Kakek lo yang nyerahin lo ke tangan Abang gue diumur lo yang ke-18." Adit meremat bahu Niel, "Kak Bulan enggak bisa punya keturunan Niel makanya mereka terpaksa ngambil lo dari keluarga kandung lo,"
"Kenapa harus gue?"
"Mata bulat berbinar lo buat jatuh cinta kak Bulan Niel." kata Adit menatap Niel lembut, "Waktu itu saat umur lo masih 6 bulan ada acara di rumah gue dan keluarga gue ngundang keluarga lo. Kak Bulan ketemu sama lo saat itu, dia bahkan sempat gendong lo dan akhirnya ingin memiliki lo seutuhnya sebagai seorang anak dan yang terpenting kakek lo punya janji sama Ayahnya kak Bulan yang enggak banyak orang tahu."

KAMU SEDANG MEMBACA
ZAT PADAT
Teen FictionAvniel tidak berharap dilahirkan menjadi bungsu, karena mempunyai 3 Abang dan 1 Kakak perempuan bukannya berkah malah musibah. Masih dianggap bocah lah, disuruh-suruh, buatin ini buatin itu. Tetapi Niel tahu semua saudaranya perhatian pada Niel, ap...