"Akhir-akhir ini gue lihat lo kaya orang kebanyakan beban tau enggak."
Kedua netra sayu Niel mengerjap pelan menatap Nayla yang mengoceh dihadapannya. Dia sendiri juga merasa bahwa dirinya kurang fit semenjak bertemu dengan Kak Rhea, seolah-olah masalah yang kak Rhea miliki adalah masalahnya juga.
Ya memang kenyataannya begitu, karena itu melibatkan abangnya...
"Terus juga setiap Gian mau ngajak ke kantin bareng lo selalu nolak, kalau aja hari ini enggak gue paksa pasti lo juga enggak mau ke kantin kan?" Nayla berdecak melipat kedua tangan di depan dada. "Masalah lo tuh apa sih hah? bentar lagi kita bakalan ngehadapin banyak ujian. Lo mau enggak lulus karena mikirin hal-hal yang enggak seharusnya lo pikirin?"
Sebelah Niel duduk Abi menggeleng-gelengkan kepala sembari menahan tawa melihat wajah garang Nayla, sedangkan Gian dan Dika hanya memutar bola mata malas karena mereka berdua juga telah menegur Niel lebih dulu dibandingkan Nayla.
Niel mengibaskan tangannya, "Denger omelan lo itu sama dengan nambah beban gue, pusing ah!"
Tangan kanan Niel menjangkau garpu lantas ia tusukan pada pentol baksonya, membuat suara yang cukup nyaring terdengar, "Berapa kali sih lo denger gue ngomel? Gue ngomel juga ada alasannya goblok! Gue perduli sama lo, bukan sama lo aja..." gadis itu melirik kearah tiga sahabatnya yang menunduk acuh, "... gue perduli sama kalian berempat, karena kalian udah gue anggap saudara. Kalo emang tempat kalian di hati gue cuma sekedar temen, ya gue bisa aja bodo amat."
Dika mengusap telinganya yang terasa panas, "Iya ibu iya... udah dulu ya ngomelnya aing mau makan, laper."
"Nah bener tuh, gue laper Nay. Makan dulu yak, ngomelnya dissambung entar aja ya." Sambung Abi menyengir lebar.
Nayla mendengus tanpa berucap lagi mulai memakan makanannya dalam diam, walau kini matanya memicing tajam mengarah pada Niel, ditatap seperti itu Niel bukannya takut dia malah melipat kedua tangan diatas meja lalu menelungkupkan kepalanya diatas lengan.
Dika menyenggol lengan Niel, "Makan woi! Mubazir kalo enggak di makan atau mau lo sumbangin ke gue aja." Ucap Dika begitu mendapati Niel tidak berminat akan nasi goreng yang telah Gian pesankan tadi.
"Makan aja, gue enek." Sahut Niel tanpa mengangkat kepalanya, tidak menyadari ketiga sahabatnya kecuali Dika menghela nafas.
"Ya udah gue makan ya Niel, kan lumayan makanan gratis." Kata Dika antusias.
Abi memukul kepala Dika pelan, "Bego lo babi! Bukannya di bujuk buat makan malah mau lo embat itu makanan, lambung lo sebesar apa sih?"
"Tadi katanya si Niel enek, ya masak mau di paksa. Mau lo dia muntah gara-gara kita paksa." Sungut Dika mengusap kepalanya.
Gian mendesah pelan, menepuk punggung Niel pelan. "UKS sini gue anter, badan lo anget... ya walaupun lo enggak berat-berat amat Niel, malah menurut gue kaya kapas enteng, tapi malu entar kalo pingsan di kantin." Gian berbisik merasa bersalah sebab turut ikut memaksa Niel untuk ke kantin padahal anak itu telah menolak karena merasa kurang enak badan.
Tidak mendapat jawaban Gian melirik sahabatnya yang lain, terlihat Nayla mengunyah makanannya dengan cepat namun matanya menunjukan bahwa dia tengah khawatir sedangkan Dika dan Abi kompak mengangkat kedua alis mereka.
"Nie—"
Belum sempat Gian menyelesaikan ucapannya, Niel sudah lebih dulu berlalu pergi meninggalkan keempat sahabatnya, berlari pergi dengan sebelah tangan menutup mulut dan sebelahnya lagi memegang perut. Detik itu pun Dika bangkit lebih dulu kemudian melesat pergi mengikuti Niel disusul tiga sahabatnya yang lain.
——
Mars menyibak rambut Niel menggunakan tangan kirinya sebab tangan kanannya tengah memegang stir kemudi, jika tidak ingat bahwa keadaan sang adik yang sedang tidak baik-baik saja, ingin Mars menjitak kepala Niel keras-keras, karena telah membuat Mars harus bergegas pergi meninggalkan kampus dengan perasaan khawatir karena diberi kabar jika adiknya itu ambruk di sekolah.
"Rumah sakit ya, supaya Ayah bisa periksa keadaan lo." Entah sudah bujukan ke berapa kali Mars lontaran namun tertolak mentah-mentah oleh sang adik yang beralaskan tidak ingin menganggu konsentrasi Ayah atau parahnya lagi Bunda saat menangani pasien.
"Pulang aja bang, mau di peluk Kak Ona." Sahut Niel lirih antara sadar dan tidak sadar.
Kekehan Mars terdengar mungkin bila Niel sedang benar-benar sadar Mars akan tertawa terbahak-bahak mendengar Niel berucap seperti itu. "Sama gue enggak mau nih?"
"Ogah," Niel menyahut pelan sebelum akhirnya terlelap dan saat itu lah Mars menyemburkan tawa sadar bahwa adik bungsunya begitu menggemaskan.
Sampai rumah Mars menghela nafas tidak tega membangunkan Niel yang masih setia memejamkan mata. "Nyusahin banget lo sampai-sampai gue bisa sesayang ini sama lo." Dia menepuk-nepuk dahi Niel pelan sebelum memutuskan keluar dari dalam mobil.
Pada akhirnya Mars menggendong Niel menuju kamarnya. Menidurkan Nie diatas ranjang lantas mengganti seragam sang adik menjadi piyama satu-satunya yang Niel punya. Mars bisa memprediksi jika Niel bangun nanti anak itu akan mengomeli Mars karena memakaikan dia piyama, kado dari Mars sendiri saat ulang tahun Niel tempo lalu.
"Panas enggak?" Ona masuk masih lengkap menggunakan pakaian ala modelnya. Mars menduga kakaknya itu pulang lebih cepat karena mengkhawatirkan Niel, sebab yang memberitahu adiknya ambruk di sekolah adalah Ona sendiri.
"Lumayan." Sahut Mars seadanya. "Gue ke kamar dulu ngambil obat." Bagaimanapun Mars adalah calon dokter, sudah pasti cukup dan mampu untuk sekedar merawat keluarganya yang tengah sakit disaat Bunda dan Ayah mereka sedang tidak berada di rumah, walaupun dengan peralatan seadanya.
Ona tidak menjawab, gadis itu memilih mendekati ranjang Niel, mengecek suhu tubuh adiknya. "Apanya yang lumayan? Ini mah panas banget," dumelan Ona terdengar bersamaan dengan wajah Atha yang menyembul dari balik pintu.
"Widih teh Ona balik cepet nih, tumben ada apa?" Kata Atha menyengir belum menyadari apa yang tengah terjadi, kemudian masuk kedalam kamar Niel mengundang lirikan sinis Ona.
"Tumben ada apa?" Ucap Ona dengan nada mengejek Atha. "Sini lo gue jambak! Dari tadi gue telepon lo kemana aja sih hah? Karatan gue nunggu lo doang bangsat!"
Atha menggaruk kepalanya bingung disertai menguap lebar. "Lah lo kan tahu hari ini gue kosong, ya jelaslah di rumah! soal angkat mengangkat telepon, handphonenya gue mute terus gue baru aja melek."
"Gara-gara lo yang enggak angkat telepon gue harus ninggalin kelas hari ini, bego banget si pake acara mute handphone segala." Mars datang membawa kompres, termometer serta beberapa obat di tangannya.
Kedua bola mata Atha melebar, "Adek gue sakit?!" Pekik Atha reflek baru menyadari keadaan adiknya diatas ranjang.
"Gue tau lo goblok bang, tapi lo enggak buta kan?" Mars menggeser posisi Ona agar ia dapat memeriksa keadaan adiknya, namun bibirnya setia mengomel. "Niel sebesar ini apa enggak kelihatan dimata lo? Sebegitu gedenya belek lo ngehalangin penglihatan?!"
"Abang lo otaknya pindah ke dengkul Mars."
"Anjim! Kapan operasinya udah pindah aja otak gue ke dengkul." Atha mendumel menendang kaki Ona kesal. Mengundang delikan tajam dari saudara kembarnya.
"Sakit sat!"
"Sikit sit!"
to be continue...
———Gold, 02 Oktober 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
ZAT PADAT
Teen FictionAvniel tidak berharap dilahirkan menjadi bungsu, karena mempunyai 3 Abang dan 1 Kakak perempuan bukannya berkah malah musibah. Masih dianggap bocah lah, disuruh-suruh, buatin ini buatin itu. Tetapi Niel tahu semua saudaranya perhatian pada Niel, ap...