Sepuluh, Studio

23 2 0
                                    

Sangat excited banget saat seseorang benar-benar tahu apa yang sedang aku inginkan, atau butuhkan mungkin lebih tepatnya. Saat Candra nelpon, jujur aku sempat marah. Dia itu ganggu banget. Saat dia menyebutkan akan membawaku ke sebuah studio tari betapa tiba-tiba mengubah moodku lebih baik.

Studio tari, mama memang sangat mendukungku. Tapi, papa belum tau hal ini. Papa menginginkanku menjadi seorang lawyer seperti dirinya. Menjadi perempuan yang paham hukum. Katanya untuk melindungi sikapku agar lebih berhati-hati.

Setelah satu jam perjalanan tibalah kami di sebuah rumah bergaya joglo modern, dengan dua pendopo besar di samping. Di depan rumah ada area parkir yang luas, juga banyak tanaman di dalam pot dipinggirnya. Sangat rindang, indah, dan sejuk. 

Saat mobil sudah terparkir kami turun, tidak berselang lama seorang wanita seumuran Candra keluar. Dia putih, anggun dengan dress warna hijau di bawah lutut. "Kalian udah datang?" tanyanya sambil tersenyum.

"Eh ndis, baru nyampai kok. Ini temen gue yang suka sama tari."

"Halo, gue Karina. Panggil aja Karin." Aku tersenyum memperkenalkan diri.

"Hai Karin, gue Gendis. Teman SMA nya Candra. Sini yuk masuk, kebetulan hari ini gak ada kelas. Aku kasih lihat biasanya ayah ngajar," ujarnya sambil menggandengku masuk. Di dalam ada satu lemari berisi sampur. Ada juga sebuah kabinet yang berisi kepingan kaset. "Kamu mau nyoba?" tanyanya sambil meraih beberapa kaset dan memasukkannya ke dalam tape.

Aku yang masih berbinar penuh kekaguman. Inilah tempat yang aku cari, Tuhan sangat baik membiarkan aku menemukan surga dunia. Saat Gendis menyalakan musiknya, aku langsung hapal tari apa itu. Itulah tari Merak, tari yang aku sukai. 

Pada saat kaset dinyalakan, aku seakan berpindah tempat. Aku sedang di atas panggung megah dengan ribuan mata penonton menyaksikanku. Seolah aku adalah penari hebat yang sedang melakukan pertunjukan seni tari yang paling populer.

Aku memulai dengan berlari kecil lalu menyibakkan sampurku dengan menggelengkan kepalaku ke ke kiri yang diikuti dengan tatapan mata. Lalu melakukan gerakan gilek, atau menggelengkan pangkal kepala bawah ke kiri dan ke kanan. Berputar dengan sampur yang di rentangkan bergerak ke atas dan ke bawah seperti sedang terbang. Saat musik berpindah nada, akupun mengikutinya sesuai gerakan pada nada itu. Menggerakkan tanganku memutarnya dan kembali menyibakkan sampur. Sesekali kakiku melakukan gejluk, yaitu gerakan menghentakkan telapak kaki bagian depan ke belakang kaki yang lain. Tak lupa aku menari dengan senyum semangat tanpa malu tanpa ragu. Di sesi kedua, ketiga dan sampai selesai, aku sangat menikmatinya. Seperti menemukan oase di gurun yang sangat gersang. 

Aku masih melenggak lenggokan badanku, melakukan gerakan dengan runtut dan yakin. Di saat menari seperti ini, aku benar-benar menjadi diriku sendiri. Aku bisa jujur dengan apa yang aku rasakan. Aku bisa benar-benar bebas tanpa tuntutan. Setiap gerakan adalah ekspresi dari setiap kata yang tidak bisa ku ungkapkan. Rasanya aku benar-benar terbang di langit yang biru dengan awan putih di sana. Selalu menyenangkan. 

Sebelumnya aku memang belum pernah melakukan les khusus tari. Tapi, aku belajar otodidak dengan youtube atau kaset. Aku menyukai tari karena dulu aku sering melihat nenek melakukannya. Nenekku di kampung adalah seorang guru seni tari di salah satu sekolah SMP negeri. Dia sering di datangi murid-muridnya untuk membantu belajar tari. Sesekali aku mengikuti gerakan yang di ajarkan. Aku juga melihat nenek tersenyum lebar, dan kelihatan sangat bahagia. 

Sekarang, menemukan orang yang menyukai tari tradisional sangat sedikit. Bahkan yang sangat excited belajar malah orang-orang dari luar negeri. Aku menyukainya, aku akan berusaha menjadikan tari adalah bagian dari hidupku. Tapi, masalahnya adalah papa. Aku belum bisa membicarakan hal ini dengan papa. 

Seelah nada pada kaset habis, aku menunduk seolah memberikan hormat dan terima kasih kepada seluruh penonton yang menyaksikan pertunjukan. Tepuk tangan dua orang yang melihatku menyadarkanku bahwa aku tidak sedang berada di atas panggung.

"Terima kasih," ucapku dengan senyum lebar. Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku sore ini. Seakan alam juga ikut bahagia untukku dia mengeluarkan air dari langit. Hujan.

"Karin, itu luar biasa! Bahkan kamu belum memulai les aja udah sejago itu. Ya, tinggal memantapkan gerakannya aja, sih wajar. Hebat Karin!" Puji Gendis dengan tulus. Yang dipuji hanya cengar-cengir.

Sedangkan Candra hanya terbengong, dia sangat tidak menyangka Karin bisa melakukannya dengan sebaik itu. Apa yang dia lihat saat memperlakukannya benar-benar berbeda saat dia sedang menari. Matanya berbinar saat tiba di sini dan sampai saat ini. Dia terlihat bebas dan bisa menjadi dirinya sendiri. Mungkin mulai saat ini mengajaknya kesini akan menjadi prioritasku. Membantu seseorang mewujudkan mimpi juga tindakan terpuji, 'kan?

----------------------

Halo, ketemu lagi dengan Candra dan Karin

Mereka mau bertemu dengan Gendis, teman SMA nya Candra

Salam sayang,

Rina :*



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang