Dua belas, fakta

30 2 0
                                    


Aku duduk dengan tidak tenang. Pasalnya aura di sini seperti uji nyali. Dingin dan menakutkan. Siapa lagi pelakunya, ada Candra dan Tio duduk bersebrangan tetapi seperti sedang perang. Suasana mencekam seperti pertaruhan hidup dan mati.

"Kok gue tiba-tiba takut, ya?" kataku sambil melihat mereka berdua, "kayaknya gue mesti pulang dulu deh."

"Sana, pulang!" ucap Candra dengan masih menatap Tio.

"Dia tamu gue, dan gue belum ngijinin dia pulang," ujar Tio dengan sedikit menarik bibirnya keatas.

"Tunggu-" aku menginterupsi perdebatan mereka berdua, "sebenarnya gue masih bingung, sih. Kenapa kalian bisa kenal? kenapa kalian tinggal satu rumah? kenapa juga gue mesti tahu semua ini? Dan gak ada yang jelasin ke gue dari tadi. Kalian malah berdebat semenjak kalian ketemu. Gue di sini disuruh ngapain?" tanyaku menuntut penjelasan.

Mereka masih diam. Tiba-tiba wanita yang datang dengan Candra tadi datang dengan membawa minuman untuk kami. "Eh, ada apa ini?" tanyanya kepada kami.

"Terima kasih, tante!" ucapku tulus, saat menerima gelas berisi jus kiwi.

"Kamu, temannya Tio?" tanyanya lagi.

"Iya, tante. Saya teman kelasnya Tio. Kebetulan tadi dipulangin setengah hari, terus Tio ngajakin main ke sini." Rasanya aku perlu menjelaskan ini.

"Kenal Candra juga?" 

"Iya, kebetulan waktu itu di kenalin sama papa." Aku menjawab dengan jujur.

"Apa kamu bingung dengan situasi ini?" 

"Sedikit, abisnya liat tuh mereka tan, kaya Tom and Jerry. Sayannya di cuekin!" ucapku sambil nyengir kuda. Tante yang mirip Candra ini malah tertawa.

"Jadi kenalin, saya Nana. Mamanya Candra, juga jadi mamanya Tio. Ayahnya Tio menikah dengan saya dua bulan lalu. Jadi mereka anak-anak saya." Tante Nana menjelaskan dengan tersenyum. Aku yang mendengarnya benar-benar terkejut. Pantas saja mereka kelihatan gak akur. Gimana bisa aku kebetulan berteman dekat dengan dua kakak beradik ini. Dan sekarang, aku menyesal datang kesini. 

"Iya, tante." Aku hanya bisa menjawab dengan mengiyakan perkataannya.

Saat suasana berubah canggung, suara Tio menginterupsi kami. "Ikut gue!" ajaknya dengan menarik tanganku.

"Eh, kok ke atas?" tanyaku saat kami sudah menaiki tiga anak tangga. Aku berusaha menahan langkahku.

"Emang mau ke kamar gue."

"Ngapain?" tanyaku sedikit terkejut.

"Ada yang mau gue tunjukin ke lo." Aku melanjutkan langkahku menuju kamarnya. Untuk ukuran seorang cowok, kamar ini terlihat rapi dan bersih. Kamar yang di dominasi warna abu-abu ini menyimpan banyak buku dimana-mana. Aku berjalan menuju sebuah tumpukan buku yang warnanya sedikit mencolok. Tapi, sebelum aku mengambil buku itu aku menemukan sebuah DVD tari yang terlihat lebih mencolok dari buku yang tadi ingin ku ambil.

"Punya siapa?" tanyaku kepada Tio yang masih mengamatiku dengan bersandar di meja belajarnya sambil bersedekap.

"Karena lo sudah menemukannya, jadi itu punya lo."

"Serius?" Dia hanya mengangguk dan tersenyum, "gue udah lama banget nyari ini." Aku menunjukkan kaset DVD yang bertulisakan 'Tari Sripanganti'. Aku benar-benar harus mengucapkan terima kasih kepadanya"

"Suka?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk, "terima kasih."

"Mau nyoba di sini?"

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang