Lima belas, bukan gue!

21 2 0
                                    


Hari ini aku benar-benar dirampok. Mereka berdua sangat memanfaatkan kesempatan ini. Setelah nonton film selesai, kami pergi ke kafe yang direkomendasikan Jeni. Karena habis nangis-nangis pilu di tengah film, mereka kelaparan. Walaupun sebenarnya happy ending, tetap saja menangis membutuhkan banyak energi.

Tanpa kusangka mereka benar-benar menguras isi dompetku. Lihat, makanan dan minuman yang ada di meja ini. Mereka memilih kafe juga gak kira-kira. Aku hanya meminum air mineralku, dan melihat mereka makan dengan semangat.

"Lihat, kalian gak kira-kira banget nguras duit gue?" ujarku lemas, aku gak yakin aku akan kuat berdiri saat melihat bill.

"Kita sudah deal, by the way!" kata Jeni mengingatkan.

"Lo gak takut melar?" tanyaku sengit.

"Badan gue baik, mau makan sebanyak apapun juga gak bakal melar."

"Takut banget lo gak bisa bayar?"

"Uang jajan gue gak sebanyak lo! Gue bisa gak makan sebulan kalau kaya gini?" ujarku memelas.

"Ada anak tajir di kelas kita kalau lo lupa?"

"Lo gila?" Mereka tergelak dan melanjutkan makannya.

Harusnya hari ini menyenangkan, bukan? Kenapa malah rasanya nyesek bawa dompet dengan mereka. Kayaknya minggu ini absen gak jajan lagi. Aku masih menggerutu saat seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku. "Eh, ngapain lo di sini?" tanyaku pada Tio yang tiba-tiba muncul kaya cenayang.

"Gue mau makan," jawabnya santai sambil membuka piring yang baru kusadari memang ada empat.

"Kok, lo bisa ada di sini?" tanyaku yang masih heran tentang keberadaannya.

"Kalau gue bilang kebetulan lewat, apa lo akan percaya sama gue?"

"Dari kapan lo ngikutin gue?"

"Dari semenjak tahu lo mau pergi sama mereka," dia menaik-naikkan alisnya, "kenapa? Ada masalah?"

"Lo-" belum gue melanjutkan kalimatku, dia bicara lagi.

"Gue kan teman lo juga, Rin. Masa kalian makan besar kaya gini gue gak diajak? Tega!" dia berkata sambil melahap satu potong steak ke dalam mulutnya. Dia benar-benar gak tahu kalau gue kesiksa di meja ini. Bahuku melorot melihat mereka makan dan bercerita. Seperti yang sudah kalian tahu, Jeni akan menggali informasi yang berhubungan dengan cowok-cowok ganteng di sekolah. Juga, dia akan bertanya hal-hal pribadi semacam ini.

"Eh, lo kenapa pindah ke Jakarta?" tanya Jeni mencoba peruntungan.

"Karena ada yang gak mau gue tinggal lama-lama," jawabnya dengan santai. Gue haya memutar bola mataku, malas mendengar kata-kata dari dia yang menyebalkan.

"Memang lo gak kangen sama cewek lo yang di Bandung?"

"Gue hanya punya satu cewek yang dari dulu gue suka, dulu hampir pacaran. Tapi, sekarang dia jadi galak sama gue, jutek banget, marah-marah terus. Tapi cantiknya bikin pusing. Sampai heran gue." Dia terkekeh, hanya saja membuatku benar-benar tidak nyaman berada di dekatnya.

"Gue, ke toilet dulu, ya?" kataku mengalihkan pembicaraan mereka. Mereka sudah gila memang. Gue bayar saja langsung kabur kali ya? Bisa marah mereka gue tinggal. Setelah mencuci muka, gue balik ke meja lagi. Tapi, yang di sana hanya Tio saja.

"Kemana yang lain?" tanyaku kepada Tio.

"Pulang sih tadi pamitnya," jawabnya santai sambil melihatku. Aku menghela nafas, mereka memang sengaja meninggalkanku sendirian di sini. Sudah ngerampok malah ditinggal.

"Mbak, bill dong!" pintaku pada pelayan. Si mbak datang membawa kertas bill, "loh, saya belum bayar mbak. Kok ini sudah di cap lunas?" tanyaku heran.

"Memang sudah dibayar mbak tadi?"

"Sama siapa?" aku melihat Tio dengan tatapan curiga, "lo yang bayar? Gak usah sok kaya deh lo!" semburku kesal.

"Bukan gue, kan gue datang memang mau makan gratis!" jawab Tio dengan tidak merasa bersalah.

"Tadi temannya dua orang yang bayar, mbak."

"Serius bukan orang ini mbak?" mbak pelayan menggeleng sambil tersenyum.

"Makasih mbak," ucapku kepada mbak pelayan sebelum dia pergi.

"Jangan mentang-mentang punya suara bagus, terus lo bisa seenaknya teriak-teriak depan orang cakep. Heran deh, suka nuduh terus kerjaannya?" ujar Tio menggerutu.

"Salah siapa ngapain lo ngikutin gue?"

"Salah lo lah, coba kalau dari awal lo ngajakin gue. Gak perlu repot-repot gue nguntit lo kaya tadi."

"Gak ada yang nyuruh."

"Tetap saja yang salah lo"

"Maksa bener banget sih? Kalau salah mah, salah aja."

"Salah lo kenapa lo cantik, lucu. Terus gue suka."

"Gue bukan boneka!"

"Lo ingin banget ya kita pacaran? Liat kita sudah kaya orang pacaran, berantem di kafe. Berdua!" katanya sambil menaik-naikkan alisnya. Nyebelin parah! Setelah mendengar itu, gue langsung ngambil tas dan pergi dari tempat itu. Karena tempatnya agak jauh dari rumah, aku sengaja memesan tukang ojek dari hp. Beruntung, sampai tukang ojek datang, Tio tidak datang buat ngerecokin gue.

Senyumku terbit dibalik helm hijau yang punya lambang sinyal itu. Aku memang bahagia. Bohongnya karena tabungan gue aman, jujurnya karena aku dengan Tio sudah lama tidak berinteraksi seperti tadi. Dia memang hobi banget ganggu. Dan sialnya gue suka. Entah apa, yang membuat otaknya konslet hari ini. Bahkan ini kan di luar rencanaku. Otakku memang menyuruh untuk membencinya, membuat dia jauh, gak ingin berteman lagi, dan buat dia jauh dari gue. Tapi, apa yang ada dalam tubuh gue menolak, dan mereka suka interaksi seperti tadi. Sial!

Saat motor sudah masuk komplek perumahan, gue turun. Tiba-tiba hpku berdering, ternyata dari Tara? "Dimana lo?" tanyanya setelah gue menggeser tombol hijau.

"Lo pikir gue dimana?" tanyaku gak kalah sengit.

"Lo lagi di mobil, ya? Sama... Tio, mungkin?"

"Gak usah pura-pura lo, ya. Kalian sengaja ninggalin gue, 'kan?"

"Hehehe... ya abisnya lo gerutu terus masalah duit makan. Akhirnya Tio deh yang ngasih duit kita buat bayar makanan kita tadi. Karena gak enak sama dia, terus kita minta tolong dia buat anterin lo, jangan marah dong!" ucapan Tara memang menjawab keraguanku sejak tadi. Apa sih niat Tio melakukan semuanya. Kalau gue baper lagi gimana dong?

--------------------------------

Terima kasih untuk cintanya.

Salam sayang,

Rina setyaningsih.

Rina setyaningsih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang