Enam belas, mentor baru

16 2 0
                                    

Hari ini Candra menelepon, katanya dia mau kerumah. Pagi ini aku gak joging, tumben banget, sih. Rasanya malas, di kamar dan bergelung selimut. Bertemu Gendis adalah kesenangan batiniah. Sebenarnya bukan Gendisnya, tapi tariannya. Aku ingin menari dengan dia.

Mungkin Candra adalah bala bantuan yang di kirim Tuhan untuk sedikit mengabulkan permintaanku untuk bisa belajar menari. Walaupun bukan hanya Candra, Tio sebenarnya juga sangat berkontribusi. Karena Candra juga tahu karena Tio. Ah, kakak beradik gak sedarah itu memang sangat baik. Aku harus mentraktir mereka kapan-kapan.

"Karin, ada temannya itu di bawah!" kata bunda memberi tahuku di balik pintu.

"Siapa, bund? Ini masih pagi." Aku malah semakin meneggelamkan tubuhku di dalam selimut.

"Turun, ya. Bunda mau ke pasar dulu. Ayah lagi CFD an, kamu ngobrol di teras depan saja!"

"Iya, bund."

Setelah mengiyakan aku turun ke bawah. Siapa pagi-pagi begini bertamu. Aku masih memakai piyama Hello Kitty dan memakai sandal tidur karakter panda, aku membuka pintu depan dan betapa terkejutnya aku menemukan Candra duduk dengan kopi susu dan kue coklat. "Ngapain lo kesini pagi buta?" tanyaku kaget.

Dia hanya menatapku dari atas ke bawah. Dan menahan kekehannya dengan menutup mulutnya. Dia memakai jaket boomper dan celana panjang, membawa tas "Lo minggat? Mau ngapain?" tanyaku heran.

"Lo lebih baik ganti baju, temenin gue main basket. Buruan jangan berisik." Belum aku menjawab, Candra sudah masuk ke dalam dan menghilang di kamar mandi dapur.

"Dia kabur dari rumah apa ya? Sampai harus mandi di rumah gue?" Aku bergumam sendiri dan berjalan ke atas untuk ganti baju. Setelah lima belas menit aku sudah siap dengan jaket berwarna putih, sneakers dan kacamata.

Aku gak bisa berkedip kala Candra berdiri dan bersandar hand rail, kalau kata Tara 'Hen shuai' dia memakai baju jersey basket warna putih, dengan sneakers senada. Dia beneran Candra, kan? Bukan opa-opa yang sering Jeni tonton.

"Ngapain lo bengong kaya begitu? Bisa kemasukan lalet itu mulut lo. Buruan, keburu siang!" katanya sambil berjalan keluar. Dia memang benar-benar Candra, terbukti mulutnya yang sudah kaya boncabe.

"Mau main di mana?" tanyaku saat berjalan mengekor di belakangnya.

"Di komplek lo ada lapangan, 'kan?" tanyanya sambil berbalik melihatku.

"Ada, lo mau kesana?"

"Iya, makanya ngajakin lo."

"Jalan kaki?"

"Iyalah, masa mau naik mobil. Manja banget lo!"

"Gue cuma tanya, ya."

"Lo berisik banget deh, sumpah!"

"Gue cerewet juga lo deket-deket gue terus?"

"Gue deket lo karena mau nyelametin mimpi lo, gue gak berhasil nyelametin mimpi gue sendiri. Dan ada seseorang di depan mata gue yang butuh pertolongan gue!" katanya membungkam mulutku dengan kata-katanya yang sederhana tapi punya makna sangat komplek dan rumit. Tatapannya menyiratkan kekecewaan dan kepedihan yang mendalam, "yang perlu lo kasihani bukan gue. Tapi diri lo sendiri!" ujarnya menjentikkan jarinya di dahiku, lalu membalikkan badannya dan berjalan sambil memainkan bola basket yang dia bawa tadi.

Kenapa kali ini mulut dia mengeluarkan kata-kata bak mutiara lombok yang indah? Dia mengatakan fakta yang bahkan aku sangat takut mengakuinya.

Sesampainya di lapangan aku hanya melihatnya warming sebelum memainkan permainan basketnya. Belum main saja dia sangat keren. Dan melihatnya memainkan bola basket menambah lima puluh persen ketampanannya. Saat dia mendribble dan shoot ke gawang tambah seratus persen ketampanannya. Saat shootnya masuk jarum ketampanannya jadi tiga ratus enam puluh derajat. Sempurna. Coba saja dia bermulut manis pasti, akan menambah persen ketampanannya. "Lo ngapain berdiri di sana? Sini!" ujarnya menyuruhku mendekat. Membuyarkan lamunan liarku.

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang