Lima, Terus gimana?

35 2 0
                                    

Setelah membeli beberapa buku, gue mengajak tuan puteri yang hobi ngambek ini ke foodcourt. Tapi ditolaknya mentah-mentah. "Duit gue gak cukup makan makanan mahal di sini." Katanya bersungut sambil beranjak dari depan restoran.

"Jadi, lo mau makan dimana?" Tanya gue frustasi, karena sudah hampir setengah ja, kita gontok-gontokan perihal makan dimana.

"Duit gue cuma cukup buat beli nasi kucing pinggir jalan, tempat pak Darmono." Gue tahu ini cuma akal-akal an dia biar gak bisa makan bareng gue. 

"Hayok!" Ajakku berjalan mendahului.

"Mending lo makan di sini aja, jangan ikutin gue. Di sana tempatnya kotor. Lo gak bakal bisa nelen kalau makan di sana." Ayo kita ikutin permainan nona manis satu ini.

"Kan, ada lo. Gue gak bakal khawatir dong kalau misal tempatnya bikin gue sakit perut." 

"Di sana tempatnya rame, kadang makannya sambil jongkok." Dia masih ngotot ngusir gue.

"Karin, gue yang ngajak lo pergi. Ya kali gue biarin lo makan sendiri. Bahkan kalau lo mau makan di sini, gue juga yang akan bayarin lo. Gak perlu khawatir gak bisa bayar. Dan gue gak bakal sakit perut cuma karena makan makanan pinggir jalan. Mau makannya jongkok, berdiri, duduk, atau lari asal makannya sama lo gue tetep pergi." Salahkan mulut manis pria sinting depannya ini, sudah bikin jantung berdebar seharian masa mau bikin wajah bersemu juga. Sialan!

"Lo gak takut, kalau misalkan teman kelas kita ada yang lihat. Mereka semua gak tahu kalau kita sebenarnya udah kenal?" 

"Ya, bagus dong kalau ada yang lihat. Mereka kan jadi tahu."

"Lo tuh, ya." Karin terlihat frustasi di tempat parkiran.

"Rin, kalau kita berantem gini udah kaya orang pacaran aja, ya." Tio yang melihat wajah Karin memerah hanya cengengesan. Gak tau kalau Karin menahan baper setengah mati.

"Lo kalau masih gombalin gue sekali lagi, gue bakal pulang naik taksi. Dan, bilang ke bunda kalau lo ninggalin gue di toko buku." Emang lo doang yang punya senjata. Karin tersenyum puas.

"Iya, iya. Jadi kita mau makan di mana? Gue gak tau tempatnya." Mereka kemudian masuk ke mobil. Dengan arahan yang ditunjukkan tuan putri, akhirnya mereka tiba di sebuah angkringan pingir jalan.

Sebenarnya bukan angkringan grobak aja, mereka juga menjual berbagai macam minuman kopi. Angkringan ini seperti coffe shop dengan makannan angkringan sebagai menu utamanya. Gue jadi ingat perdebatan kami tadi, bagaimana mungkin tempat seperti ini makannya sambil jongkok atau sakit perut kareanya. Tempatnya cukup bersih. 

Dia memang sangat berubah. Dari penampilan yang sudah tidak kelihatan anak-anak lagi, atau juga jiwa berontaknya kalau lagi deket dengan gue. Dia juga bertambah jutek, terkadang bermulut pedas juga. Kami sudah kelas tiga SMA. Berarti sudah hampir empat tahun kami gak bersua. Bahkan sebenarnya gue sering pulang Jakarta. Tapi, gue gak punya keberanian buat bilang sama dia apa alasan gue pindah sekolah.

Saat itu, keadaannya memang sangat genting, dan aku gak punya cara lain selain ikut mama ke Bandung. "Lo, mau ngomong apa sama gue?" tanyanya menginterupsi.

"Gue, mau minta maaf sama lo, Karin." Ucap gue tulus.

"Apa yang mesti gue maafin? Lo gak punya salah sama gue. Gue juga gak ada hubungan apapun sama lo. Suadara juga bukan, teman juga bukan, pacar apalagi. Jadi rasanya lo sia-sia ngelakuin ini cuma karena mau minta maaf sama gue." Jawabanya santai tapi tajam.

"Waktu itu, nyokap harus berobat. Dia terkena aids, dan gue harus ngerawatnya. Bokap marah banget waktu itu, dan langsung ngusir mama. Dia kecewa banget, sampai akhirnya gue harus rela ikut mama karena di sana dia sendiri. Gue malu sama lo, gue gak bisa cerita semuanya sama bunda juga. Gue bilang sama bunda kalau mama sakit. Maafin gue, Rin. Waktu itu dengan memblokir semua akses sama lo, lo gak bisa tahu tentang gue termasuk mama. Dan gue bisa lupa lo lama-lama. Gue bisa ahead sama apa yang gue pengenin tanpa lo tahu tentang keadaan keluarga gue. Ini memalukan, gue takut kalau kalau lo gak mau berteman lagi sama gue. Tapi, dua bulan lalu Tuhan panggil mama. Dokter bilang, karena daya tahan tubuh mama rendah, dia gak kuat ngejalani terapi yang cukup panjang. Akhirnya setelah mama pergi, gue dijemput ayah buat pulang ke sini. Awalnya gue takut, kalau lo bakal tahu semua. Tapi, setelah gue pikir, gue memang harus cerita sama lo biar gak salah paham. Sebenarnya, gue juga gak secara kebetulan ada di sekolah lo. Gue sempet cari tahu lo sekolah dimana.  Terus minta ayah masukin ke sekolah ini. Gak tahu juga kalau ini kelas lo. Gue ngelakuin ini  karena gue merasa bersalah sama lo, gak seharusnya gue pergi tanpa pamit lo dan lo bisa maafin gue." Jelasnya panjang lebar, Karin terbungkam. Dia gak tahu apa-apa selama ini. Dan lihat! Tio, malah jadi manusia tolol karena sok kuat merasakan segalanya sendiri. Betapa berat yang harus dia tanggung selama ini.

Setelah Tio berbicara panjang lebar atas pengakuanny, mereka malah terdiam. Sampai setelah menghabiskan makanan mereka yang terasa hambar. Waktu sudah menunjukkan jam delapan malam. Dan mereka harus pulang. Setelah sampai rumah, Karin memecahkan keheningan. "Makasih dah nganter gue. Lo langsung pulang aja! Gue akan pamitin ke bunda." Sebelum keluar mobil, lengannya ditahan.

"Jadi teman gue lagi, ya." Pintanya dengan tulus. Yang ditanya hanya diam, dan melepaskan tangan Tio pelan. Karin tidak berkata apa-apa lagi, dan langsung keluar. Gue udah cerita semua, Rin. Cuma sama lo, dan gue gak bisa percaya siapapun lagi.

___________________

Hai, ketemu sama A' Tio lagi ya.
Semoga suka dengan cerita ini.

Salam sayang,

Tio Abimanyu

Tio Abimanyu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang