Sembilan, Compete

18 2 0
                                    


Candra sangat terkejut ketika menemukan kebenaran bahwa cewek jutek itu adalah sahabat kecil adik tirinya, A.K.A Tio. Sebenarnya dia sangat penasaran dengan cewek itu. Katanya dia sangat menyukai tari. Tapi, gak ada lemes-lemesnya sama sekali. Mulai dari bicara, sikap, nada bicara, sama sekali gak ada yang menggambarkan dia suka tari. 

Setelah sampai rumah, ternyata Tio belum datang. Terlihat dari mobil yang belum ada di parkiran. Saat masuk kamar Candra punya ide untuk menjadikan alasan Karina ikut keluar dengannya. Dia mendiall nomor seorang teman di masa SMA nya, yang mempunyai studio seni. Dia belum mengerti ada seni apa aja di sana.

"Halo, Gendis, ya?" tanyanya dengan hati-hati.

"Iya, siapa?" jawab Gendis di sebrang sana.

"Gue Candra, Lo ingat? IPA satu. SMA Saturnus."

"Oh, iya. Gue inget. Ada apa?"

"Gue tahu lo punya studio seni, di tempat lo ada les tari?"

"Bukan gue sih yang punya, tapi ayah. Ada tari sama lukis. Datang aja biar tahu. Lo mau nari?"

"Bukan, ada teman gue. Dia suka Tari, tapi gak ada gestur luwes-luwesnya."

"Ya udah, gue share lokasinya aja ya. Sama gue kirimin alamat websitenya. Kebetulan gue lagi di studio juga kalau lo mau kesini."

"Thanks banget ya, Ndis!"

"Sama-sama." Setelah telpon di tutup, aku langsung ngambil jaket dan pergi. Ketika sampai tangga, aku berpapasan dengan Tio. Liat aja siapa yang duluan. 

Waktu mau menyalakan mesin mobil, tiba-tiba papa telpon. Papa Dodi. Aku memang tinggal di rumah suami mama. Karena memang baru pulang berlayar sekaligus menjadi pelayaran terakhirku tahun ini. Aku mengajukan resign karena om Hatma menyuruhku memegang perusahaannya. Aku sempat menolak, bagaimanapun aku masih remaja. Juga basicku bukan ekonomi. Aku gak tahu bisnis sama sekali. Tapi, mama selalu meyakinkanku bahwa aku bisa belajar. Kalau tidak mama yang nyuruh, mungkin bisa saja aku ikut di perusahaan papa.

Aku tahu, Tio sangat cemburu akan hal ini. Aku juga tahu kami datang hampir di waktu yang sama. Setelah bertahun-tahun hidup dengan keluarga. Aku merasa Tio lebih terpukul karena ibunya meninggal karena AIDS. Penyakit yang sangat di hindari sekaligus menakutkan. Setelah dua bulan ibunya meninggal, tiba-tiba ada seorang perempuan di rumah ayahnya. Pasti dia sangat syok melihat situasi yang di alaminya. Aku sangat paham mama gak langsung bisa diterima. Tapi, aku yakin semua akan terjawab saat waktunya tiba.

"Iya, pa!" jawabku setelah aku menerima panggilan dari ayahnya.

"Kamu bisa ke kantor papa? ada yang mau papa diskusikan dengan kamu," tanyanya dengan sangat hati-hati.

"Bisa, pa. Candra langsung kesana." Papa memang sangat lembut, dia tidak pernah mengekang apapun yang aku suka. Dia akan selalu berhati-hati jika ingin membicarakan sesuatu.

Walaupun mereka sangat sibuk, dan kami tidak tinggal serumah. Pertemuanku dengan papa sangat aku nantikan. Papa dan mama berpisah sejak aku mau masuk pelayaran. Aku gak tahu alasan pasti mengapa mama dan papa memutuskan untuk bercerai. Yang aku tahu mereka tidak memiliki kecocokan. Terkadang aku juga berfikir, tidak memiliki kecocokan kenapa mereka mesti menikah. 

Aku juga gak tahu kapan mama mengenal om Hatma. Tapi, ketika mama memutuskan untuk menikah lagi adalah pukulan buatku, betapa tidak? aku masih mengharapkan mereka bersatu. Saat mama meminta izinku mau menikah sebenarnya papa sudah mengatakannya. Tapi, aku yakin. Mungkin ini adalah yang terbaik untuk kita semuanya.

Aku memang akan bekerja di tempat om Hatma, tapi itu belum efektif. Aku masih mempelajari beberapa berkas dan rule pekerjaan. Selain tidak punya pengalaman apapun, aku juga harus bisa mengikuti ritme kerja timku. Om Hatma memang akan membimbingku, tapi tetap saja aku gak mau kelihatan bodoh di mata ayah tiriku. 

Seperti rencana semula, aku memang akan bertemu Karina terlebih dulu. Mungkin sedikit melelahkan, tapi ini memang kali pertama aku penasaran dengan seorang gadis. Aku mencoba menyangkal, aku hanya penasaran dengannya. Menyukai sebatas penasaran. Dan untuk membuat Tio semakin kesal. 

"Gue di luar. Lo bisa ikut gue sebentar?" kataku dalam telpon. Karin terdengar melenguh, aku yakin dia akan marah-marah ketika melihatku. Setelah beberapa saat Karin datang.

"Ngapain lo kerumah gue lagi?" tanyanya dengan cemberut. Oke dia lucu.

"Ayo ikut gue!"

"Gue sibuk!"

"Cuma sebentar, dan lo gak bakal nyesel."

"Gue selalu nyesel deket-deket sama lo."

"Gue gak yakin lo bakal nolak kalau tahu gue mau ke studio tari temen gue."

"Ehh.. apa lo bilang?"

"Ya udah, bye!" seruku sambil menjalankan mobil perlahan. Karin langsung berlari dan tanpa berdebat dia duduk manis di kursi penumpang.

"Heran, bikin lo baik itu emang harus di sogok dulu, ya?" kataku mulai menjalankan mobil.

"Di dunia ini memang gak ada yang gratis." 

"Walaupun tujuan awalnya memang mau nyenengin lo," gumamku. Aku pikir gak akan mendengarnya terbukti dengan dia tidak menjawab perkataanku.

Gadis manis dengan rok selutut warna biru dongker, memakai sneakers putih dan kaos polos. Penampilan yang begitu sederhana tapi sangat bisa mempesona. Sejak papa menyuruhku datang ke rumahnya, aku memang gak menyesal bertemu dengannya. Biar saja dia membenciku dulu, lama-lama juga suka. 


-----------------------------

Hai, selamat hari jumat yang berkah.

Ketemu sama adik kakak Tio dan Candra ya, semoga suka dengan ceritanya.

Boleh di kritik, boleh di beri saran.

Siapa aja yang baca ini terima kasih sudah mendukungku untuk terus berkarya.


Love, 

Rina

Rina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang