Dua puluh enam, cintanya bukan bercanda

17 2 0
                                    


Setelah sampai di rumah Karin yang dilakukan mereka berdua adalah diam, tidak ada yang bersuara, bahkan Karina juga masih bergeming di tempatnya belum bergeser barang se senti pun.

Mereka terdiam karena ingin menyampaikan apa yang sejak tadi terus mengganjal di benak mereka. Candra juga masih diam, tidak seperti biasanya yang akan cerewet kalau Karin tidak lekas beranjak.

"Gue turun duluan, ya. Sudah sampai," kata Karin memulai percakapan di antara mereka.

"Rin, apa yang gue katakan tadi bukan bercanda," ujarnya masih tetap memandang lurus kedepan.

"Besok kita bicarain lagi, ya. Gue capek banget, badan juga sudah lengket parah."

"Good night!" kali ini tidak ada alasan lagi buat Candra untuk menahan Karin.

Setelah kepergian Karin, Candra sudah tidak bisa lagi menyembunyikan rasa gugup yang sedari tadi ia coba ia tekan mati-matian. Rasanya dia seperti anak abg yang gugup kalau ketemu seseorang yang dia suka, bahkan mulut yang biasa pedas itu tiba-tiba lemes kaya cabe kena susu.

Ini memang kali pertama dia merasakan jatuh cinta. Mengingat bagaimana Tio yang gencar mendekati Karin, rasanya dia sudah tidak bisa lagi bersantai-santai untuk pendekatan dengan Karin. Dia tidak mau lagi apa yang dia suka berpindah lagi menjadi miliknya. Cukup mamanya saja yang lebih menyayangi Tio, anak tirinya, daripada dia yang jelas darah dagingnya.

Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berharap dia akan sampai dan segera merebahkan tubuhnya yang sudah rindu kasur ini.

Dia sangat terkejut saat tiba di unitnya ada seseorang yang menunduk dan memeluk lututnya, pandangannya kosong. Ternyata itu adalah Tio. Entah mengapa dia malam-malam begini datang ke unitku.

"Kenapa datang?" tanyaku saat aku sudah berada di depan pintu.

"Gue-" kata Tio, sebelum dia melanjutkan, ucapannya sudah di potong Candra terlebih dulu.

"Masuk dulu, bicara di dalam!" tak seperti biasanya, Tio menurut saja.

Saat sudah di dalam, Tio duduk di sofa apartemen. Sedangkan Candra melesat ke dapur untuk mengambil dua kaleng soda. Sebenarnya dia tidak mengetahui alasan sebenarnya di balik kedatangan Tio yang tiba-tiba ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan ini ada kaitannya dengan Karina.

Kalau gadis itu tahu dia sedang diperebutkan oleh dua orang, sungguh kepalanya akan bertambah besar dua kali lipat. Candra menghela nafas berat, dia harus menghadapi adik tirinya ini.

"Lo pasti tahu alasan gue kesini?" tanya Tio yang tiba-tiba membuka suaranya. Sambil membuka tutup soda yang menimbulkan suara desisan itu.

"Ada apa?" bukannya menjawab Candra malah ganti bertanya.

"Lo jangan pura-pura lagi sekarang!"

"Apa maksud lo?"

"Lo kira gue gak tahu lo darimana? Lo dari sekolah gue kan? ngapain lo di sana?"

"Gue memang janjian sama Karin tadi siang."

"Sejauh apa hubungan lo sama Karin?"

"Gue cuma mau bantuin dia."

"Lo masih mau bicara omong kosong sama gue?"

"Enggak, gue ngomong jujur." Tio menghela nafasnya berat, dia akan mengatakan kepada Candra sebelum semua terlanjur.

"Tinggalin dia, Ndra!" ujar Tio memohon.

"Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia."

"Ndra, gue memang bodoh dulu sudah nyia-nyiain dia. Gue gak peduli sama perasaannya, gue cuma mikirin diri gue sendiri. Gue mau perbaiki semuanya, gue mau dia suka lagi sama gue, Ndra!"

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang