Tujuh belas, peringatan

15 2 0
                                    


Mendengar omelan gadis kecil itu membuatku sejenak melupakan kekesalanku pada papa. Pagi-pagi buta aku datang ke rumah orang, sebelumnya memang aku gak masuk dulu, menunggu sebuah jendela menyala. Gak kusangka pada saat aku merebahkan punggungku di jog dan mencoba memejamkan mataku, jendela mobilku diketuk seseorang. Saat aku menurunkan jendela, aku tahu kalau aku sudah ketahuan. "Selamat pagi om!" sapaku kepada ayah dari orang yang aku ingin temui.

"Oh, beneran kamu? Kenapa gak masuk?" tanyanya, aku hanya tersenyum canggung.

"Masih pagi om, nanti saja. Mau ngajakin Karin main basket, om." Aku keluar dari mobil, dan bersalaman.

"Kamu dari mana? Ayo duduk dulu!" dia menggandengku duduk di bangku teras, "Bi, tolong bawain kopi, ya!" mintanya kepada asisten rumah tangganya.

"Makasih om, gak perlu repot."

"Kamu kabur?"

"Enggak om, tadi malam dari rumah papa. Memang sengaja kesini buat main basket. Tapi, masih kepagian."

"Ya sudah, nanti biar istri saya minta Karin turun. Om mau ke depan, biasa main sepeda."

"Iya, om. Terima kasih."

"Bund, ada temannya Karin ini mau ngajakin main basket!" ucapnya memberi tahu istrinya yang kebetulan akan keluar.

"Oh, Candra." Aku menyalaminya, sepertinya bunda Karin ini gak begitu menyukaiku.

"Ya sudah, aku pergi ya, bund." Om Hadi keluar dengan sepedanya. Saat om Hadi sudah pergi. Tante Airin masih ada sini.

"Kamu punya niat apa sama anak saya?"

"Saya mau ngajakin Karin main basket, tan."

"Saya tahu, kamu lebih dewasa dari Karin. Tapi, Karin masih kecil. Dia masih belum lulus sekolah. Dia juga akan belajar fokus pada ujiannya. Jadi, Candra, tante hanya gak mau kamu merusak fokus dia. Saya rasa kamu tahu kesenangan Karin, tante cuma tidak mau kamu membuat masalah untuk Karin. Ayahnya ingin Karin masuk hukum. Bukan jadi penari. Saya gak mau anak saya tertekan sebelum ujian karena berdebat masalah ini terus sama ayahnya. Kalau kamu mau membantunya, bantu dia jadi lebih baik, lebih ceria dan lebih bisa jadi anak berbakti."

"Tan, saya rasa tante lebih tahu apa yang diinginkan Karin, juga apa yang bisa membuat dia bahagia. Dia yang akan menjalani kehidupannya, tan. Bukan tante atau om."

"Kamu memang benar, saya lebih tahu apa yang terbaik buat anak saya daripada kamu."

"Dia suka nari tan, saya hanya membantunya sedikit. Bukan bermaksud untuk melawan tante atau om. Maaf, tan."

"Tunggu di sini sebentar, saya panggilkan Karin." Aku hanya menganggukkan kepalaku. Setelah tante Airin pergi, aku hanya bisa menghela nafas. Semua orang tua berpikir, kalau semua pendapatnya adalah yang terbaik untuk anakknya. Padahal belum tentu anaknya akan bahagia dengan ini.

Saat suara cempreng itu terdengar aku hanya bisa menahan tawaku. Betapa tidak? Dia keluar dengan memakai piyama Hello kitty, sendal tidur panda, juga rambut yang sedikit berantakan khas orang bangun tidur. Lucu.

Baru bangun tidur saja dia sudah bisa marah-marah sama gue. Kalau dua puluh empat jam sama gue sudah bisa kali numbuh uban. Kadang ada hal-hal yang di luar dugaan dari dia seperti saat aku sudah menunggunya beberapa saat, dia turun dengan jumper dan kacamata. Aku gak habis pikir, dia itu mau olahraga bukan mau jalan-jalan. Aku menghela nafas saat dia gak buru-buru turun malah bengong. Atau waktu mau jalan ke lapangan yakali harus pakai mobil. Pada saat aku sudah bermain basket dia malah bengong dan mainan hp.

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang