Aku tidak tahu seberapa lama aku tertidur di UKS, yang pasti di sini sudah sepi. Dimana dokter Dira? Batinku, saat aku mau keluar ada yang menarik perhatianku. Ada air mineral dengan roti coklat di atas nakas dekat ranjang UKS. Dari siapa? Cuma ada tulisan 'cepet sehat' aku membawanya keluar. Saat aku mau keluar Jeni dan Tara datang. "Lo kenapa, sih?" tanya Jeni saat sudah ada di depanku.
"Enggak papa. Cuma mau bolos kelas saja!" jawabku enteng. Aku gak mau mereka tahu aku tertekan karena pentas seni tadi.
"Gila, apa? Wajah lo pucet begitu?" ujar Tara sambil memeriksa suhu tubuhku dengan tangannya, "panas, kita antar pulang aja, yuk!"
"Gak usah, aku mau pergi ke teman dulu?"
"Di bolehin bunda?"
"Belum bilang, aku gak mau pulang dulu. Nanti saja kalau dicariin baru aku bilang. Lagi malas pulang cepet."
"Lo gak papa?" tanya Jeni masih khawatir dengan kondisiku.
"Iya, Jen!"
"Ya sudah, ini tas lo! Jangan pingsan di jalan, lo berat soalnya. Tar malah gak ada yang nolongin lo lagi?"
"Makasih ya, ya sudah sana lo pada pergi. Jangan terlalu khawatirin gue, tar lo cinta lagi?"
"Najis banget, Kariiinnnn!!" Aku tergelak melihat Jeni yang mau muntah mendengar kata-kataku. Setelah meninggalkan UKS aku pergi dengan menggunakan angkot. Ke sebuah tempat yang aku gak perlu memakai topeng. Sanggar seninya Gendis.
Setelah perjalanan tiga puluh menit aku sampai di tempat Gendis, sanggar kelihatannya sedang ramai. Ada ayahnya Gendis juga. Aku mengetuk pintu sanggar. Beruntung Gendis datang untuk menemuiku. "Eh Karin, kamu datang? Sama Candra?"
"Hai Gendis, aku datang sendiri. Kamu lagi sibuk?" tanyaku kepada Gendis.
"Biasa, jadi asisten ayah. Kamu mau ikut belajar?"
"Aku belum bilang ke orang tuaku. Tabunganku juga belum cukup buat les di sini."
"Ayo masuk, ikut sekali juga gak akan dimintai bayaran, Rin."
"Boleh?"
"Boleh lah, kamu datang kesini saja. Khusus buat kamu aku kasih gratis. Bagaimana?"
"Kamu terlalu baik, Ndis. Aku kesini Cuma mau lihat-lihat saja sebenarnya?"
"Gak papa. Yuk, aku kenalin ayah!" ujarnya sambil menyeretku pergi menemui ayahnya, "Yah, ini Karina. Temanku yang waktu itu aku ceritain. Narinya jago, yah!"
"Iya kah?" ayah Gendis menanggapi dengan keingintahuan besar.
"Gendis berlebihan om."
"Kenalin, saya Utomo. Saya ayahnya Gendis. Dia cerita banyak soal kamu. Mau coba? Biar saya lihat apa yang kurang dalam tarian kamu. Dan sebagai belajarnya anak-anak di sini. Kebetulan ini kelas junior masih SMP ke bawah."
"Boleh om?"
"Tentu saja, mau tari apa?"
"Srimpi, om. Ludira madu."
"Kamu bisa?" tanyanya memastikan, aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Gendis siapin!"
"Terima kasih banyak, om." Seperti sedang ketimpa rejeki yang sangat banyak. Aku secara khusus di perbolehkan melakukan tarian ini. Tari srimpi yang akan kubawakan adalah Tari srimpi Ludira madu, sesuai syair lagu ludira madu tarian ini menggambarkan sosok ibu yang sangat cantik dan bijaksana. Tarian ini diciptakan oleh Pakubawana V ketika masih menjadi putra mahkota keraton Surakarta. Tujuannya adalah untuk mengenang kematian ibunda tercintanya yang saat itu meninggal saat Pakubawana V masih berumur dua tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
A half of me
Ficção AdolescenteIni bagian dari cinta masa lalu yang datang dan pergi. Yang saat ini kembali tiba-tiba membuat banyak rencana melebur jadi sebuah harapan. Harapan yang akan di nomor duakan setelah kamu.