Enam, Candra

24 2 0
                                    



Minggu pagi-pagi sekali bunda sudah ribut bolak balik kamar. "Ada apa bund?" tanyaku kepada bunda yang masih mencak-mencak karena aku gak segera turun ke bawah. 

"Kamu itu sudah gadis, masih aja bangunnya susah. Jangan mentang-mentang libur kamu bisa bangun siang ya!" Okelah bunda selalu menang di rumah ini.

"Bund, aku mau tidue sebentar lagi, ya. Lagian ada ayah, aku disuruh ngapain, sih?" ujarku masih mencari alasan.

"Bantuin bunda bikin kue sama nyiangin sayur, nanti ada teman ayah datang."

"Aduh bund! tumben banget sih ayah bawa temannya ke rumah, biasanya juga bunda sama ayah keluar buat makan."

"Kamu itu, kalau dimintai tolong bunda malah ngeles aja. Cepetan turun! bunda gak mau tahu."

"Iya, Iya!"

Setelah perhelatan panjang antara kue coklat atau kue keju, akhirnya bunda nyerah dengan pilihanku. Kue coklat. Kami memulai menyiapkan bahan yang akan di buat. Sebenarnya aku gak suka baking, hanya saja bunda sering sekali bikin kue saat kami kumpul santai atau saat sedang mau ada tamu seperti saat ini. Saat aku sedang memecah telur tiba-tiba bunda berkata, "Rin, kamu sudah besar. Sudah kelas tiga." Ujarnya yang membuat aku pasang kuping, karena bunda jarang ngobrol serius.

"Iya, ada apa bund?"

"Kamu masih menjalankan list yang kamu buat empat tahun lalu?" tanyanya sambil membuka kulkas mencari sayuran kangkung yang akan disiangi.

"Iya, aku sangat suka sekali seni bund, apalagi tari."

"Oke, bunda percaya. Kamu suka seni, bunda gak akan larang. Tapi, kamu harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang sudah kamu putuskan. Kamu paham, kan?"

"Iya bund, aku tahu. Harus lebih rajin belajar, fokus pendidikan, gak boleh pacaran, berteman dengan banyak orang, enggak cari masalah, harus bisa jaga diri, harus bisa jaga kepercayaan bunda sama ayah." Jawabku dengan senyum tulus. Saat sedang menyiangi kangkung yang akan dimasak cah sama bunda, bel rumah berbunyi. Aku bergegas ke depan karena bunda sedang ngadonin bakal kue. 

"Iya, cari siapa ya?" tanyaku kepada orang di hadapanku. Dia seorang lelaki bertubuh tinggi dengan seragam biru, masih memakai topi, baju pas badan, sepatu fantouvel. Mungkin umurnya lebih tua dariku, wajahnya lumayan tampan tapi dia ngapain ya di rumahku. "Hallo? lo bisa ngomong gak sih? ditanya kok diem, sih?" tanyaku lagi karena orang di depanku ini gak nyaut-nyaut juga.

"Nama gue Candra, gue anak pak Dodi. Gue mau ketemu orang yang punya rumah ini." Songong banget ini orang ya, dia pikir aku pembantu.

"Eh Candra! gue  Karin. Anak pemilik rumah ini, bisa dibilang ini rumah gue juga. Lo tamu kok songong, sih?"

"Jadi, orang tua lo ada enggak?"

"Ada, ayah lagi,," belum sempat aku melanjutkan bicaraku dia sudah nyelonong masuk duluan, "eh, lo! gue belum nyuruh masuk by the way. Jangan-jangan lo mau nyolong, ya di rumah gue?! keluar lo!" Seruku dengan nada kesal. Mungkin karena ribut-ribut, bunda keluar dengan tergopoh-gopoh. 

"Ada apa?" tanyanya. Aku hanya mengedikkan bahuku, dan bersikap cuek.

"Halo tante, saya Candra. Anaknya pak Dodi. Papa bilangnya saya suruh langsung ke alamat ini. Katanya papa masih meeting, nanti langsung kesini gak mampir pulang dulu. Jadi, saya kesini karena diajak papa makan malam sama keluarga temannya. Tante keberatan?" katanya menjelaskan bagaimana dia bisa ke sini.

"Gue keberatan!" kataku, tidak terima karena ada anak laki-laki datang ke rumah, dan dia belum jelas juga, bisa saja nama pak Dodi yang lain.

 "Oh gitu. Ya udah, kamu duduk dulu saja, ya. Saya telpon suami saya dulu." Bunda lalu pergi dari ruang tamu.

"Lo denger, kan? awas lo modus nipu kita." Kataku sambil ngawasin gerak gerik dia.

"Ngapain gue nipu lo?! Lo punya apa bisa gue tipu? gue kesini karena disuruh bokap gue ikut makan malam dia. Lo gak usah ke geer an. Kalau gue gak pengen ketemu bokap, gue juga ogah kesini dan ketemu nenek-nenek kaya lo!" 

"Eh, kok lo nyolot, sih? Lo tuh tamu disini, sopan dikit bisa?!" 

"Emang kaya gini memperlakukan tamu?"

"Lo tuh, ya! nyebelin banget, sih!" saat kami masih berdebat bunda datang dengan senyum dan geleng-geleng kepala.

"Udah, udah. Candra memang anak pak Dodi. Karin ambilin minum temannya, ya. Bunda ke dapur dulu, ya Candra. Kamu ngobrol dulu sama Karin." Kata bunda sambil lalu.

"Terima kasih, tante." Dia berkata sambil tersenyum ke arahku, "mana minum gue? tadi bunda lo nyuruh lo, kalau lo lupa? cepetan sini haus gue!"

"Awas lo macam-macam di rumah gue!" Seruku sambil berjalan ke arah dispenser. Tamu  songong, awas aja lo! Enak aja nyuruh-nyuruh gue, kalau bukan karena bunda, ogah gue! dikira gue pembokatnya apa! Amit-amit gue ketemu dia lagi, cukup hari ini sampai acara ayah selesai. Ganteng-ganteng songong, gak ber etika. Emaknya gak ngajarin apa ya!  Saat aku bersungut, tiba-tiba ada yang meraih tanganku. "Lo buta, ya? mau rumah lo banjir?!" serunya sambil meraih gelas dari tanganku, mataku terbelalak saat air yang kutuangkan di gelas sudah banyak yang tumpah. Buru-buru aku mengambil keset untuk membersihkan tumpahan air.

"Udah, minum tuh airnya! kalau kurang ambil sendiri, udah tahu tempatnya juga, kan." Kataku, menjawab umpatan yang dia katakan tadi. Aku langsung naik ke atas dan masuk kamar. Dia kira dia siapa? sudah numpang tempat gue, nyuruh-nyuruh gue, pakai ngatain gue buta lagi. Untung aja dia karena ada bunda. Kalau enggak, udah gue usir dia dari rumah. Ngomong asal aja, mulutnya itu emang minta disekolahin.


------------------------------

Salam sayang dari Candra

Salam sayang dari Candra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang