Tiga puluh empat

13 2 0
                                    


Langit yang tadinya gelap, berubah menjadi menguning. Sang mentari pagi sudah memulai galanya. Seperti saat ini, menikmati pagi yang indah, di tempat yang sangat indah bersama seseorang yang mengindahkan segalanya menjadi lebih indah. Bagaimana? Belibet ya?

Tio menolehkan wajahnya ke samping kanan, setelah makan pie yang hampir habis setengah itu dia menyandarkan kepalanya pada bahunya. Anak dari bapak Hadi Pangestu itu sedang tertidur dengan sangat pulas. Yang di lakukan Tio hanya tersenyum memandangnya.

Pagi ini akan dia ingat sampai kapanpun.

Di tempat lain, Adimas Candra Hutama sedang mondar mandir di depan pintu rumah ayah tirinya. Dia tiba-tiba ketakutan akan apa yang di katakan oleh adik tirinya itu. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Meredakan sedikit gugup yang melandanya.

"Eh, den! Kenapa nggak nggak masuk?" sapa bibi yang keluar dari dalam rumah dengan menenteng tas belanja.

"Iya, mama ada, bi?" tanya Candra sopan.

"Ada, den! Lagi di dalam sama bapak."

"Makasih, bi." Bibi mengangguk lalu pamit untuk pergi ke pasar.

Candra harus berbicara dengan Hatma masalah pendidikan yang ia tawari. Apapun yang akan terjadi, ia harus menyampaikan ini. Akhirnya dia membuka pintu dan melangkah masuk.

"Ma," sapa Candra yang sudah berada di ruang keluarga.

"Ndra, sini duduk. Tumben pagi-pagi kamu kesini?" tanya Nana merasa heran. Pasalnya anaknya itu tidak akan datang kalau dia tidak memintanya.

"Halo, om," sapa Candra kepada ayah tirinya.

"Saya kira kamu ikut Tio ke Bandung?" menjawab sapaan anak tirinya itu.

"Tio ke Bandung? Sama siapa?"

"Itu, temannya. Teman dari dulu banget, semalam tiba-tiba dia nelpon saya buat minta izin ke mamanya."

"Maksud om, Karina?"

"Kamu kenal?"

"Kebetulan kenal."

"Itu mas, yang mama ceritain waktu itu. Dia pinter banget nari, mama saja lihat pas dia nari di kamar Tio pakai kaset."

"Oh, pernah kesini? Sayang, sudah lama nggak perah lihat."

"Anaknya cantik, pa. Sopan lagi."

"Om, tawaran waktu itu-" tiba-tiba semua hening. Suhu udara tiba-tiba terasa sangat dingin. Candra merasa mama dan ayah tirinya sangat menunggu jawaban darinya.

"Saya menolak."

"Mana bisa?! Mama sudah nyiapin keperluan kamu ke Inggris. Kamu nggak ada basic bisnis, Ndra. Kamu harus belajar sedari sekarang. Nggak bisa nolak lagi. Ini final dari mama. Kamu sudah umur berapa? Kamu harusnya bisa mikir, sebentar lagi kamu akan menikah dan punya keluarga. Mama nggak mau kamu lontang lantung di kapal berbulan-bulan. Nggak pernah pulang kerumah. Apa mau nunggu mama mati dulu baru kamu mau pegang perusahaan?" cerocos Nana panjang lebar. Hatma mengusap punggung istrinya mencoba menenangkan istrinya.

"Ma, kamu jangan kaya gini. Sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Candra," ujar Hatma mencoba meredakan emosi istrinya.

"Sekarang, katakan sama mama, kenapa kamu nggak mau kuliah bisnis."

"Ma, aku kira mama sekarang sudah mengerti aku. Ternyata dari dulu sampai sekarang mama masih belum mengerti juga. Ma, mama tahu? Candra pengennya apa? Mama peduli sama masa depan Candra, tapi pernah nggak mama tanya sama Candra, anakmu ini bahagia atau enggak?

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang