Pada saat pagi tiba, Karin memutuskan untuk bangun pagi. Saat bundanya membangunkkannya, dia sudah rapi menggunakan seragam dan membawa tas. "Tumben jam segini sudah rapi?"
"Mau bantuin bunda, boleh?" tanya Karin sambil menutup pintu kamarnya.
"Sebentar, ada apa ini?" tanya Airin heran dengan tingkah anak satu-satunya itu. Yang ditanya hanya tersenyum dan turun terlebih dahulu.
Karin hari ini ingin membuatkan kopi ayahnya, sebagai bentuk rayuannya untuk mendapatkan izin mengikuti pentas seni. Sekaligus untuk membuat ayahnnya berubah pikiran tentang jurusan kuliahnya. "Selamat pagi, ayah!" dia menyapa dengan lengkungan bibir yang ceria, "ini kopi pagi buat ayah," ucapnya sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja.
"Selamat pagi, tumben sudah turun?" Ayah Hadi yang melihat anaknya membawakannya kopi adalah satu hal yang sangat langka.
"Aku akan lebih sering bangun pagi sekarang, yah."
"Bagus! Bagaimana sekolah kamu?"
"Gak ada masalah, yah. Semua baik dan lancar."
"Besok ayah akan mengantarmu ke tempat les. Ayah kira kamu harus mengikuti les sekarang. Kamu sudah kelas dua belas, sudah waktunya fokus belajar."
"Ayah, tanpa les aku bisa kok mempertahankan nilaiku."
"Bagaimana kamu tahu?"
"Aku akan belajar giat."
"Ayah tahu kamu anak yang baik."
"Ayah, Karin gak mau kuliah hukum." Setelah mengatakan itu, Hadi terdiam. Dia tidak menyangka kalau anaknya akan membahas ini lagi. Terlebih ini adalah dia sudah berkali-kali berdiskusi masalah ini.
"Kita sudah bicara masalah ini Karin, jawabannya masih sama."
"Tapi, karin gak suka hukum, yah."
"Kamu mau masuk ekonomi?"
"Karin suka seni, yah. Mungkin jurusan tari."
"Karin, kamu harus bisa membedakan untuk masa depan kamu dan hobi kamu. Menari hanya hobi, kamu harus paham ini." Suara Hadi meninggi saat mengatakan ini, membuat anak semata wayangnya terperanjat dan tanpa disadari air matanya sudah menganak sungai.
"Ayah, kenapa ayah gak ngizinin Karin buat masuk seni?" tanyanya dengan suara parau.
"Karena ayah gak mau masa depan kamu, lingkungan kamu berantakan kaya mereka. Kamu gak akan punya masa depan yang baik kalau hanya menari, Karin?"
"Mereka siapa yang ayah maksud?" dia mengusap hidungnya saat melanjutkan kalimatnya, "bagaimana Karin bisa nunjukin sama ayah, kalau ayah gak mau kasih kesempatan?"
"Ayah gak akan buat kamu susah di masa depan. Kamu satu-satunya milik ayah, ayah mau kamu dapat yang terbaik dan bahagia. Kamu tahu? Ayah sayang banget sama kamu. Jangan mempertanyakan hal yang sama pada ayah, kamu tahu jawabannya akan tetap sama. Ayah gak mau masalah tari ini menjadi topik kita lagi. Ayah akan mengantarmu ke tempat les buat mempersiapkan ujian kamu."
"Tapi, ayah-"
"Sudah final Karin."
"Apa boleh Karin menari di acara ulang tahun sekolah?" Karin bertanya dengan nada yang lebih pelan.
"Buat apa?" Suara Hadi sudah keliatan sekali menahan emosi.
"Ayah, seenggaknya Karin bisa merasakan punya panggung pertunjukan. Bukankah setelah lulus akan masuk hukum dan meninggalkan kesenangan Karin yang tidak bisa menjamin masa depan?" suaranya seperti silet yang menyayat hatinya. Yang dia fikirkan hanya 'mungkin orang tuanya akan bahagia dengan melakukan ini, mungkin ini yang disebut anak yang berbakti menurut mereka'.
KAMU SEDANG MEMBACA
A half of me
Novela JuvenilIni bagian dari cinta masa lalu yang datang dan pergi. Yang saat ini kembali tiba-tiba membuat banyak rencana melebur jadi sebuah harapan. Harapan yang akan di nomor duakan setelah kamu.