Sudah lama gue gak merasakan masakan seorang ibu, di rumah memang ada bibi yang masak. Tapi, entahlah saat Karin menyodorkan kotak bekal di hadapan gue kemarin, rasanya kaya dapat jakpot. Happy banget. Jadi, hari ini gue berencana mau pergi kerumah Karin dengan dalih berterima kasih kepada bunda yang udah bikinin bekal buat gue. Ya, sambil ngapelin anaknya yang masih jutek setengah mati.
Dengan jaket hitam, tidak lupa kacamata yang sudah bertengger manis Tio beranjak dari kamarnya. Dia meyakinkan diri bahwa kali ini dia akan berhasil mengajak Karin untuk berbicara. Dia gak mau menjadi pengecut lagi, seenggaknya berteman baik seperti dulu tidak terlalu buruk.
Saat sedang di bawah dia bertemu ayahnya, "ayah di rumah?"
"Mau kemana?" tanya ayahnya yang heran melihat penampilan anaknya sore ini.
"Yah," dia mendekat, "masih ingat Karin enggak?"
"Karin?"
"Yang sering Tio ceritain dulu." Ayah terlihat berfikir sebentar, "yang bundanya sering masakin kamu?" tanyanya.
"Yappp!! Yah, dia sekelas sama Tio. Terus kemarin bundanya bikinin Tio bekal lagi. Jadi, sebagai tanda terima kasih Tio mau berkunjung ke rumahnya. Mau ketemu bundanya dan bilang terima kasih." Ucapnya pada ayahnya. Sang ayah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengangguk tanda menyetujui. Hubungan ayah-anak ini memang sangat dekat. Mereka memang seperti ini, persis seperti teman.
Setelah mendapatkan izin, dia langsung menyambar kunci mobilnya dan pergi menuju rumah Karin. Selama di perjalanan dia tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Kali kedua dia akan berkunjung, berharap kali ini bisa berbicara tanpa otot dengan Karin. Sahabatnya yang tidak pernah mengerti alasan dia ke Bandung waktu itu.
Ketika melewati toko kue, dia tiba-tiba punya ide untuk membelikan kue coklat yang selalu Karin sukai. Dia memberhentikan mobilnya di parkiran Toko. "Bu, mau yang coklat itu." Pintanya pada penjaga toko yang kira-kira sudah berkepala tiga itu.
"Lagi ulang tahun ya, dik?" Tanyanya sambil mengambil sebuah kantong plastik yang sudah berlogo kincir angin itu.
"Bukan, bu. Buat mengembalikan mood yang buruk. Katanya kalau makanan manis itu bikin suasana hati jadi happy." Ucapnya sambil menyerahkan tiga lembar uang ratusan.
"Memang, coklat selalu membantu memperbaiki mood. Semoga pacarnya gak jadi marahnya." ucap pelayan toko itu tersenyum sambil mengangsurkan kue yang sudah di bungkus. Tio meninggalkan tempat itu setelah mengucapkan terima kasih.
Setelah perjalanan setengah jam, dia sampai di rumah Karin. "Assalamualaikum." Ucapnya sambil merapikan bajunya dan melepas kaca matanya. "Waalaikumsalam." Jawab seseorang yang ada di dalam.
"Ngapain lo kerumah gue?" Tanya Karin, yang kebetulan membuka pintunya.
"Emm, bunda ada?" Maaf, bund. Bunda dulu yang jadi alasan, kalau singanya udah jinak baru deh jujur. Dia berkata dalam hati.
"Bunda sibuk! Gak bisa nerima tamu." Karin masih saja jutek, dan berniat mendorong Tio untuk pergi. Sebelum pintu tertutup, suara bunda menggelegar dari arah dapur. "Siapa sayang? kenapa tamunya gak disuruh masuk?"
"Tio bunda!" Teriaknya gak punya aturan, "sama Karin disuruh pulang nih bund!" Jawab si kecoa hidup ini sambil cengengesan.
"Eh.. Tio. Masuk!" Ajak bunda yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu.
"Terima kasih, bund!" Dia mengekor di belakang bunda, sambil menjulurkan lidahnya. Betapa dia sangat menyebalkan sekali. Maunya apa sih ni anak?
Sepertinya mengganggu Karin adalah hal yang menyenangkan sekarang. Dulu, dia selalu merona kalau gue godain. Tapi, Karin yang sekarang. Dia akan mencak-mencak kalau gue tidak menuruti kemauannya. Seperti saat ini, dia sedang berdebat dengan bundanya. Ketika mengobrol santai dan mencicipi kue yang tadi gue bawa, gue memberanikan diri untuk minta izin membawa Karin ke toko buku. Dengan dalih, gue belum kenal banyak teman, juga buku mana yang biasa guru gunakan saat mengajar belum hafal.
"Lo bisa berangkat sendiri, ntar gue kasih pinjam buku gue."
"Yah, Rin. Kita kan teman sekelas, gue kan belum punya teman selain lo."
"Udah, sana ganti baju! Keburu malam." Jawab bunda menambah skorku sore ini.
Ampuhnya akting gue sore ini akhirnya bunda menizinkan kami pergi. Dan Karin terlihat tambah kesal karena bunda bilang kalau beterman harus saling tolong menolong. Apalagi mengenai proses belar. I love you so much bunda cantik. Dengan kekuatanmu, akhirnya Karin manggut-manggut tanda dia menerima ajakanku untuk pergi, walaupun bibirnya manyun lima senti.
Saat sedang dalam perjalanan, kami sama-sama diam. Gue belum sempat menanyainya apapun. Saat gue sedang mikir topik apa yang akan gue tanyain, mungkin karena sedikit melamun atau terlalu bersemangat bisa keluar dengan Karin, gue gak lihat kalau ada motor tiba-tiba nyebrang di depanku. Seketika aku injak rem dan mencengkram kemudiku kuat-kuat. Untung saja pengendara tersebut tidak apa-apa. Karena mobilku berhenti di waktu yang tepat.
"Lo gila! Kalau lo mau mati jangan ajak-ajak gue! Bisa nuyetir gak sih, lo?" Tuan puteri di sampingku ini malah bersungut menatapku garang.
"Kalau gue mati sekarang tar lo kangen lagi?" Jawabku malah menggodanya.
"Lo becanda! Gue turun!" Dia membuka seat beltnya dan mencoba membuka pintunya. "Buka gak?" Katanya, memang sudah gue lock agar dia gak bisa keluar seenaknya.
"Lo mau jalan kaki? Masih jauh. Lagian lo pakai rok, gak mungkin kan kalo lo lari. Ya kali lari pakai rok." Karin hanya bisa menghela nafas, berharap ia gak akan mencakar muka gantengnya ini dan masuk time line berita pagi yang sering ayah tonton.
"Go ahead!" Jawabnya lirih sambil menenggelamkan wajahnya dibalik tas. Tio hanya tersenyum atas kemenangan yang di rencanakan hari ini. Membuat karin nurut kaya gini memang membutuhkan tenaga ekstra, Tapi sangat menyenangkan dalam waktu bersamaan. Siap-siap aja, lo akan ketagihan gue godain. Tuan putri yang juteknya setengah mati.
-------------------------------------
Nih, Adik Tio nya lagi mau apel anak bunda.
Adoh Karin, udah ganteng gini masa di usir sih. Sayang mubadzir :D
Terima kasih votenya, semoga suka ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A half of me
Ficção AdolescenteIni bagian dari cinta masa lalu yang datang dan pergi. Yang saat ini kembali tiba-tiba membuat banyak rencana melebur jadi sebuah harapan. Harapan yang akan di nomor duakan setelah kamu.