Dua puluh tiga, take opportunity

26 2 0
                                    


Karin hari ini ingin pergi ke sanggar, dengan sebelumnya sudah janjian ketemu di sana sama Candra. Tak disangka seseorang sudah mengekorinya sedari tadi.

"Lo mau ngapain, sih?"

"Gue sudah jadi sahabat lo. Jadi, gue akan ada di manapun lo ada."

"Lo gila?"

"Kenapa sih suka banget bilang aku gila?"

"Gue mau ke sanggar, naik angkot. Gue gak yakin lo bakal ngintilin gue lagi?"

"Kenapa naik angkot, sih?"

"Taksi mahal, duit gue gak bakal cukup."

"Naik mobil gue lah oneng! Yuk!" Tio menggandeng tangan Karin untuk turut mengikutinya. Yang digandeng hanya nurut saja, lebih baik dari pada ngangkot itung-itung hemat ongkos.

Perjalanan tiga puluh menit dari sekolahan tibalah mereka di sanggar Gendis. Saat sampai di sana jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Saat sudah masuk ruangan yang diduga Tio adalah tempat menari itu sudah sangat ramai. "Lo apa di sini?" tanya Tio pada Candra yang sudah duduk di luar ruangan dan bermain hp.

"Yang punya tempat ini teman gue. Kenapa?"

"Lo sering kesini sama Karin?"

"Memang kenapa?"

"Lo nyuri start!"

"Gue gak mau balapan lari. Gue cuma bantuin Karin."

"Sekarang sudah ada gue, lo mending pulang."

"Kalian kenapa sih, berisik tahu gak? Kalau mau ganggu mending pulang saja sana!" ujar Karin yang keluar dengan menggunakan jarik dan slendang di pinggangnya, "waktu gue gak banyak, cuma sejam." Karin membalikkan badannya dengan menghentakkan kakinya.

"Gue kesini karena disuruh dia. Dia belum bilang mau apa, jadi gue belum bisa pulang."

"Lo jangan mimpi dia jadi milik lo."

"Gue sudah bilang, gue cuma mau bantuin dia. Kalau lo mau dia, gue doain semoga saja lo bisa dan kuat menghadapi cewek seganas macan itu. Gue sebagai abang lo, turut prihatin sama kriteria cewek lo." Candra langsung berdiri dan menepuk bahu adik tirinya itu, lalu pergi meninggalkan sanggar.

Walaupun Candra belum bisa menerima sepenuhnya keluarga barunya itu. Tapi, dia menyadari bahwa Tio masih SMA. Sama sepertinya dulu yang masih belum berpikir jauh. Menurutnya, Karin hanyalah seseorang yang butuh pertolongannya. Bukan seseorang yang harus diperjuangkan mati-matian. Jika dia memang mau sama adiknya ya sudah, gak masalah buat dia.

Candra masuk mobilnya dan langsung kembali ke kantornya. Pasalnya dia harus menyelesaikan apa yang diminta om Hatma, papa tirinya itu. Walaupu dia yang membantu membujuk Nana untuk mengizinkan tinggal di apartemen, dia gak begitu saja bisa luruh untuk menerimanya seratus persen. Ini semua dilakukan karena permintaan ibunya.

Sudah satu jam Tio menunggu Karin keluar dari latihannya. Sebenarnya dia tidak begitu paham, apa yang terjadi kepada Karin. Kenapa dia latihan, juga kenapa dia mengikuti pentas. Hanya, melihat Karin sebahagia ini dia juga ikut bahagia untuk sahabatnya yang sudah menolak cintanya hari ini itu.

"Candra, mana?" tanya Karin sambil celingukan mencari keberadaan Candra.

"Sudah balik dari tadi," jawab Tio enteng dan ikut berdiri.

"Kenapa gak nungguin gue, sih?" ujarnya kesal. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu, "lo sih, ribut mulu." Dia pergi meninggalkan Tio yang masih mengekor di belakangnya.

Saat di mobil, yang dilakukan mereka hanya diam sambil mendengarkan radio yang kebetulan membahas tentang tempat-tempat yang akan dikunjungi dalam waktu dekat. Tiba-tiba Tio punya ide untuk memecahkan keheningan. "Kalau lo, pengen kemana dalam waktu dekat?" tanya Tio saat mobil yang mereka kendarai berhenti karena lampu berwarna merah.

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang