Tiga, Mau gue kamu

37 3 0
                                    


Aku masih bersungut menatap bunda pagi ini. Pasalnya bunda ngotot untuk membawakan bekal sarapan buat Tio. Cowok rese itu memang selalu mudah mengambil hati orang lain. 

"Bund, Karin gak mau."

"Kalian kan sekelas, gak akan susah ketemu dia."

"Bund, dia anak baru. Kalau teman-teman Karin tahu bunda bawain bekal dia mereka akan ngomongin Karin di belakang."

"Ya, kenapa. kalian kan teman lama."

"Maka dari itu bund, orang-orang gak tahu kalau anak songong itu sebelumnya kenal Karin."

"Ya, udah kalau gitu, bilang aja sebagai ucapan selamat datang dari kamu. Hebat kan ide bunda." Aku menghela nafas berat, kalau gak di akhiri perdebatan ini gak akan berakhir. Dan bisa-bisa aku terlambat untuk pergi ke sekolah.

Saat bekal yang disiapkan bunda sudah aku masukkan ke dalam tas, melihat betapa air muka bunda bahagia gak terkira. Aku jadi sedikit iri, aku aja kalau gak request gak dibikinin bekal. 

Saat aku masuk kelas teman semeja Jeni, Tara. Dia melihatku dengan tatapan curiga. "Ngapain, Ra?" tanyaku.

"Coba cerita ke gue, lo kemarin ngapain habis pulang?" Tanyanya mengintimidasi.

"Pulang, lah. Makan, tidur siang, baca buku." Jawabku santai.

"Kenapa anak baru itu pasang history, kalau dia kayaknya di rumah lo? soalnya ada dinding relief taman di sana." 

"Mana gue tahu, kali dia foto rumahnya sendiri, yang kebetulan rumahnya mirip rumah gue. Udah ah, sana! lo tanya aja sendiri sama anak baru itu. Jangan ngrecokin gue!" usirku sambil mendorong Tara kembali. Bagaimana anak-anak kalau tahu gue bawain dia bekal. God please help me! erangku frustasi.

Dengan kesal Tara pergi dari mejaku, dia masih mengomel bahwa, nanti dia akan melanjutkan interogasinya. Bersamaan itu pak Alvin guru kesenian kami datang. "Selamat pagi anak-anak." Sapanya pagi ini. "Selamat pagi, pak." Jawab kami serentak.

"Pagi ini, bapak mau kalian membuat sebuah tarian sederhana. Durasinya hanya tiga menit. Maasing-masing kelompok terdiri dari dua orang. Semakin variatif gerakannya nilainya semakin bagus." Jelas pak Alvin.

"Pak, itu tarian modern apa tradisional?"

"Untuk jenis tariannya kalian yang menentukan. Boleh adaptasi dari barat atau tradisional kita yang akan kalian remix." Jawab pak Alvin

"Sekarang kalian buat kelompok dulu, listnya ketua kelas yang akan mengumpulkan ke saya."

"Pak, kelompoknya gak melihat gander, kan?" kali ini Tio si tengil yang gak ada habisnya bikin gaduh karena menertawakan pertanyaanya. Setelah menjawab pertanyaan Tio, pak Alvin keluar dan membebaskan kami berdiskusi.

"Eza, gue sekelompok sama Karin, ya. Tulis!" pinta seseorang kepada Eza. Tiba-tiba mataku meneleng melihat suara siapa barusan.

"Siapa yang mau satu kelompok sama elo? Eza, gue sama Jeni aja." Katakku gak terima.

"Gue udah sama Tara, Rin." Jelas Jeni sambil nyengir gak berdosa.

"Ya udah, gue sama Sandra aja." Jawabku gak mau kalah.

"Karin, sorry gue udah sama Aldin."  Kata Sandra tak berdosa. Sahabat macam apa kalian ini sebenarnya.

"Kok kalian gitu, sih? gak ngajakin gue sekelompok. Awas aja lo pada." Aku gak mau kalau sampai satu kelompok sama Tio. Akhirnya, aku naik ke bangku dan berteriak, "siapa di antara kalian yang belum punya kelompok?"

"Gue!" Jawab Tio songong dengan senyum puas. Karena memang gak ada lagi yang ngangkat tangan. Artinya semua udah punya kelompok sisa aku sama si kecoa hidup ini. Aku menghembuskan nafasku frustasi. Sejak dia masuk ke sini, kayaknya semesta nyuruh aku deket-deket sama dia. Gimana aku bakal bisa jauh dari dia, aku gak mau dikendalikan dia lagi. Bahkan pesonanya aja bisa menghipnotis satu kelas ini. Gimana remahan rengginang ini?

"Jadi, lo mau bikin tarian apa?" Tanyaku, saat kami sedang duduk di taman sekolah dekat perpustakaan.

"Lo suka tradisional kan?" jawabnya sambil memangku kepalanya dengan satu tangan sambil melihatku. Aku baru sadar kalau gantengnya memang menyebalkan banget hari ini. Hati, ayo kita kerjasama hanya sampai tugas ini selesai. Jangan sampai baper!

Setelah kami membuat kesepakatan tentang beberapa gerakan yang akan kami tunjukkan ke pak Alvin. Kami mulai mencoba mengambil gerakan dari tari Merak. Pada saat gerakan kami berputar tiba-tiba kakiku keserimpet tali sepatu yang entah kapan lepas. Dan badanku terhuyung kebelakang, seandainya tidak ada tangan menopang tubuhku mungkin kepalaku akan terbentur bangku atau mungkin bokongku akan salim sama lantai. Gak tau kenapa saat tangannya di pinggangku rasanya sialan hangat, hatiku berdesir lagi. Aku benar-benar benci perasaan ini. Tapi anehnya, aku malah bengong dan menyuarakan namanya dengan bego.

"Tio!"

Memang siapa lagi yang cewek ini harapkan? "berat. buruan bangun!" Katanya menginterupsi  hayalanku.

"Lain kali kaki sama mata di ajak kerjasama bisa? Cerobohnya tahu tempat dikit, kek! Untung aja ada gue. Kalau enggak, kepala lo yang kecil ini bisa berdarah kena bangku." Lanjutnya sambil marah-marah. Tentu saja, bibirku terangkat. Ada senyum bahagia di sana. Sudah lama dia tidak merasakan sesuatu yang asing ini. Terkadang takdir itu menakutkan, aku benar-benar takut kalau sesuatu yang lalu akan terulang lagi. Semesta jaga hatiku agar dia tidak cenderung dengan laki-laki tengil di depanku ini.

"Lo gak mau ngomong apa gitu ke gue?" tanyaku setelah aku sudah berdiri sempurna.

"Bukannya lo yang harusnya ngomong ke gue, berat tahu nahan karung beras." Jawabnya sambil cengengesan.

"Lo ikhlas gak sih nolongin gue? gak pakai ngatain, bisa?"

"Terserah lo!"

"Makasih." Pintaku tulus.

"Gue, kemarin mau ngomong sama lo. Pas gue tungguin, lo malah pergi duluan naik angkot. Ya udah gue ketemu bunda aja. Bunda kan baik, gak bakal nolak gue." Lihat betapa percaya dirinya dia.

"Lain kali jangan ke rumah, apalagi bikin story-story yang bikin teman-teman gue tahu kalau kita pernah kenal sebelumnya." Setelah mengucapkan itu, aku berjalan untuk kembali ke kelas. Baru dua langkah aku berhenti dan teringat sesuatu. Kubuka tasku dan mengeluarkan bekal makan siang, "nih, dari bunda." Aku menyodorkan bekal itu, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih. Aku berbalik dan menetralkan degup jantung yang masih saja menyukainya. Otakku sudah memerintahkan mereka agar gak berharap lagi. Tapi, rasanya mereka gak menyetujuinya.

------------------------------

Hai.. ketemu lagi dengan Tio dan Karin

Semoga suka, ya.

Salam hangat,

KARINA

A half of meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang