Confession

9.7K 842 302
                                    

Ini pertama kalinya ia menganggap seseorang lebih dari sekedar teman, membiarkan tubuh dan pikirannya yang polos dinodai dengan kemesuman, ini juga pertama kalinya ia mendamba sentuhan seseorang. Namun saat semua sudah terlanjur ia percaya, saat semua sudah terlanjur ia nikmati. Orang yang membuatnya seperti itu, tidak lebih hanya menganggap Zhan sebagai bagian dari koleksi.
.

Waktu berjalan sedikit melambat bagi Zhan, seolah jarum jam masih tenang di angka yang sama. Zhan berkali-kali mengusap dahinya yang berkeringat, hingga Luhan yang melihatnya mulai angkat bicara.
"Apakah AC-nya tidak berfungsi?"
Zhan hanya menggeleng, tidak berani melihat ke arah direkturnya.

Setiap melihat wajah Luhan, bayangan kejadian 2 hari yang lalu di depan rumah Yibo, meremas jantungnya. Menyisakan rasa sakit yang aneh. Seperti terpapar radiasi, secara tidak langsung merusak ulu hatinya, tanpa menimbulkan luka yang bisa dilihat oleh mata telanjang.

Telinga Zhan mencuri dengar dengan sangat tajam, perbincangan direkturnya dengan seseorang di telpon. Luhan tampak tidak sungkan walaupun ada Zhan di dekatnya. "Sayang, mau mengulanginya malam ini?"
"...."
"kau memang paling pandai membuatku ketagihan"
Luhan tertawa sejenak, kemudian melirik Zhan yang tertangkap basah sedang mengamatinya.

Zhan langsung berpura-pura berkutat dengan dokumen, padahal tangan dan kakinya benar-benar gemetaran. Antara cemas, takut, dan perasaan cemburu yang membakar hatinya tanpa ampun.

Selesai pekerjaan, Zhan langsung terburu keluar dari ruangan direktur, tidak menggubris ajakan Ji Li dan Pei Xin untuk makan bersama. Ia memilih bergegas kembali ke apartemennya.

Begitu ke luar dari gedung perkantoran, di sebrang jalan, tampak pemuda tampan yang Zhan kenal, duduk di atas motor bututnya. Pemuda itu melambai pada Zhan.
Zhan membuang muka, menghentikan taksi yang kebetulan lewat. Tidak menoleh sedikitpun pada pemuda yang masih setia menatap Zhan yang telah pergi.

Ponsel Zhan berbunyi, Zhan sudah tahu siapa yang menelponnya. Jadi ia sama sekali tak berniat mengangkatnya. Ia memandang ke luar jendela, mencoba mencari pengalihan dari pikirannya yang kacau.

Ia tidak tega melihat Yibo tiap pagi menunggunya di parkiran apartemen. Saat sore, Yibo juga tak pernah absen menunggu Zhan pulang kerja bersama motor kecil miliknya. Yibo juga tak henti menelpon dan mengirim pesan pada Zhan, bertanya apa yang terjadi? Mengapa Zhan berubah? Dan pernyataan rindu yang menggebu.

Lebih dari 100chat yang tidak dibuka oleh Zhan, ia malas untuk berurusan dengan maniak dan playboy kelas udang seperti Yibo. Zhan memilih menyendiri sepanjang hari di apartemennya menghabiskan malam minggu. Sepekan yang lalu, ia masih menikmati makan malam di restoran hot-pot favorit Yibo. Mereka makan bersama, saling menyuapi dari sendok yang sama, bercengkerama dan bersenda gurau.

Sepulang dari restoran, Yibo memaksa Zhan untuk memberinya kesempatan main di ranjang, namun Zhan menolak, masih berpegang pada prinsip yang sudah ia sampaikan sepulang dari bukit. Tak tahunya, 5 hari setelah itu, Zhan memergoki Yibo tengah mencium dan memeluk mesra direktur Luhan di depan rumah reotnya.

Zhan menambah volume televisi hingga mencapai maksimal. Ia sudah mensilent handphonenya, tapi tetap saja getaran dari benda persegi panjang warna putih itu mengganggu pikirannya. Apalagi ia tahu, yang menelponnya adalah Yibo. Entah sudah berapa ratus panggilan yang ia abaikan. Zhan tidak berniat menjelaskan apa yang membuatnya kecewa pada pria mesum itu, terlebih ini menyangkut direkturnya. Tak mungkin ia bisa bersaing dengan pria cantik dan kaya seperti Luhan.

Zhan menyelonjorkan kakinya di karpet hijau berbulu lembut, yang terhampar di depan televisi. Ia menaruh kepalanya di sofa, matanya menatap langit kamar berwarna putih terang. Tapi semuanya seakan gelap, pikirannya kabur, dan hatinya melebur bersama kenangan saat ia menghabiskan malam minggu terakhir kali bersama Yibo. Dengan aksi panas menggelora, membuat tubuh Zhan bereaksi perlahan. Mendamba belaian itu sekali lagi, membayangkan kecupan Yibo mengitari wajahnya, merasakan tangan nakal itu menggerayangi tubuhnya. Zhan mendesah pelan,"Yibo...." sambil jarinya bermain solo di kedua putingnya yang mulai mengeras.

Libido (Tamat di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang