Selamat membaca cerita Syahiidah!
***
Orang tua, lebih tahu dengan apa yang terbaik untuk putra-putrinya.
***
Saat kabut hitam masih membungkus daratan Parangtritis, tak banyak dari penduduk yang menetap di sana, terbangun di pagi buta seperti itu. Dinginnya embun pagi yang mulai menetes di setiap dedaunan yang mengelilingi sekitar rumah penduduk, masih menyelimuti tubuh-tubuh mereka. Membuat mereka enggan bangkit dari tempat tidurnya, dan memilih membenarkan posisi selimutnya, lalu melanjutkan tidurnya, hingga siang menjelang.
Meski kabut itu masih menggantung di kaki langit nan luas itu, di sebuah rumah gubuk kecil beratapkan ijuk, tampaklah seorang gadis cantik nan jelita, sedang menari-nari kegirangan, setelah menyelesaikan sorogan al qur'annya kepada sang ayah. Hatinya bahagia, karena perkembangan membaca al qur'annya semakin hari bertambah lancar.
Gadis itu, bernama NAFISAH. "Sesuatu yang berharga", artinya. Dan nama itu telah menyatu dengan diri gadis itu. Nafisah merupakan satu-satunya yang paling berharga dalam keluarganya. Bagaimana tidak? Diantara lima bersaudara, hanya Nafisah lah yang masih ditakdirkan untuk bertahan hidup, dan masih diberikan kesempatan untuk menikmati indahnya alam semesta, hingga kini usianya menjelang belia. Keempat saudaranya meninggal saat mereka masih bayi. Nafisah terlahir dari pasangan Nariyah dan Hasan. Dua orang keturunan petani, yang menggantungkan hidupnya pada hasil panen.
Keesokan harinya.
Fajar shodiq hampir membentangkan cahayanya. Sudah lazim, setiap waktu telah menjelang subuh, cuaca terasa sangat dingin. Membuat manusia malas untuk bangkit dari tempat tidurnya. Apalagi dua bola mata mereka seolah di lem, pakai lem G. Pekat. Sulit untuk melek. Itu kebiasaan yang sudah lumrah untuk beberapa kalangan masyarakat atau sekelompok penduduk. Tidak dengan keluarga Nafisah.
Sejak usia tujuh tahun, Nafisah sudah dibiasakan untuk bangun pagi dan tepat waktu untuk melaksanakan sholat subuh.
Saat fajar shodiq telah benar-benar membentangkan cahayanya, dan azan subuh sudah terdengar jelas di telinga, Nafisah sudah mengenakan mukenahnya, dan siap melaksanakan sholat subuh berjamaah bersama Hasan dan Nariyah.
Waktu pun terus berlalu. Setelah menyelesaikan sorogan al qur'an kepada Hasan, Nafisah kemudian membantu Nariyah di dapur, untuk menyiapkan makan pagi, sebelum akhirnya pergi ke sawah, mengurus tanaman padi, jagung dan sayur-mayurnya.
"Nafisah, tolong ambilkan benih jagung yang akan kita tanam hari ini, Nak. Ibu lupa membawanya." Nariyah berteriak dari sawah di samping rumahnya. Segera Nafisah memasuki dapur, mengambil benih jagung yang Nariyah minta, lalu memberikannya.
Dari keluarga sederhana itulah, Nafisah tumbuh menjadi seorang gadis yang berakhlak mulia, dan disenangi banyak orang. Dan dengan akhlaknya pulalah, nama Nafisah melambung ke angkasa. Siapa yang tidak mengenal Nafisah? Hampir seluruh masyarakat Parangtritis, dari ujung barat sampai ujung timur, dari ujung selatan sampai ujung utara, mengenal Nafisah. Sekarang usianya sudah dua belas tahun. Selama itu juga Nafisah telah melalui masa-masa indah dalam hidupnya bersama keluarga yang sangat menyayanginya.
Setiap pagi, usai membantu Nariyah, Nafisah berangkat ke salah satu sekolah dasar negeri di kotanya, dengan berjalan kaki. Selain Nariyah dan Hasan yang memang mempunyai kesibukan di waktu pagi, sehingga tidak bisa mengantar Nafisah ke sekolah, keduanya sengaja ingin mengajarkan kemandirian sejak dini kepada putri kecilnya.
Nafisah melalui hari-hari di sekolahnya dengan suka cita, karena keadaan lingkungan sekolahnya sangat ramah. Saat ini, Nafisah sudah menginjak kelas enam SD. Sebentar lagi, dia akan lulus.
"Sudah pulang, Nak?"
"Iya, Bu."
Nariyah menyambut Nafisah yang baru saja pulang dari sekolah. Nafisah mengambil tangan Nariyah, lalu menciumnya lembut. Dengan masih mengenakan seragam merah putih, dan tas ransel yang masih digendong di punggungnya, Nariyah membawa Nafisah masuk, dan menyuruhnya untuk ganti baju, lalu, mengajaknya makan siang. Nariyah membawakan nasi jagung dan ikan teri disertai sayur-sayuran yang diambil dari hasil panennya sendiri. Keluarga mereka memang termasuk keluarga sederhana. Bukan mereka tidak mampu membeli makanan mahal, hanya saja, mereka ingin membiasakan diri dengan makanan asli dari hasil alam. Nafisah sangat menikmati hidangan dari Nariyah siang itu.
"Nafisah habis dari SD, pengen lanjut ke mana?"
Nariyah memulai pembicaraan serius itu dengan Nafisah. Sejenak Nafisah tak menjawab pertanyaan Nariyah. Nafisah meneguk air putih dan menyudahi makan siangnya.
"Nafisah ikut apa kata Ibu dan Ayah saja."
"Yakin?" Nariyah menatap wajah Nafisah.
"Kalau Nafisah ada sekolah tujuan setelah SD, Ibu dan Ayah pasti akan berusaha ngedukung kamu," lanjut Nariyah.
"Enggak ada, Bu. Terserah Ayah dan Ibu saja."
"Bener?" Nariyah mencoba mencari keyakinan putrinya lewat tatapan matanya.
"Iya." Nariyah tersenyum hangat melihat putrinya sangat yakin untuk memasrahkan pilihan sekolahnya kepada orang tuanya.
Siang itu, Nariyah kemudian memberi tahu Nafisah perihal keinginannya dan Hasan, untuk memasukkan Nafisah ke salah satu pesantren di kota Magelang, Jawa Tengah. Kenapa tidak di dekat Yogyakarta saja? Nariyah dan Hasan sengaja mau mengirim putri kecilnya ke tempat yang jauh itu, karena ia yakin, Nafisah mampu. Nariyah dan Hasan berharap Nafisah bisa dijadikan satu-satunya harapan mereka saat mereka tua nanti. Mereka ingin Nafisah lebih paham dengan agamanya, dan agar ada yang mendoakan mereka, ketika mereka wafat nanti.
Namun, bukan hanya itu, Nariyah dan Hasan juga menginginkan Nafisah tumbuh menjadi seorang perempuan yang kreatif juga pandai, baik dari segi afeksi, kognisi dan psikomotoriknya.
Mau tidak mau, Nafisah menerima keinginan Nariyah dan Hasan. Lagi pula, Nafisah sudah memasrahkan urusan kepindahannya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi itu, kepada kedua orang tuanya. Orang tahu jauh lebih tahu dengan apa yang terbaik untuk putra-putrinya. Nafisah akan segera berangkat ke pesantren, usai ujian nasional dilaksanakan.
***
Alhamdulillah, dapat menyelesaikan tulisan yang merupakan karya pertama dariku ini.
Mohon dukungannya dengan memberikan bintang dan komentar kalian di kolom yang tersedia di bawah, ya.
Terima kasih.
![](https://img.wattpad.com/cover/208754377-288-k179131.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahiidah (Tamat)
General FictionCerita ini menceritakan tentang perjalanan seorang santri dalam menempuh jalan hidupnya, tidak terkecuali kisah percintaannya, hingga ia menemui ajalnya, karena tragedi yang terjadi di pesantren, dan semoga, ia ditakdirkan untuk menjadi seorang Syah...