Sejak pertemuan itu Nafisah dan Anna semakin dekat saja, bahkan mereka mengikat janji bahwa mereka akan menjadi sahabat selamanya. Nafisah mulai menyayangi Anna seperti saudaranya sendiri. Tak ingin sedetik pun dia tidak ada dalam hidup Anna. Mereka memang selalu bersama. Bahkan sekarang mereka sudah tinggal satu blok di Al Hidayah.
Seperti biasa, di setiap pondok pesantren, pasti ada teman yang suka bergaul dengan kita, ada yang biasa-biasa saja dan tak akan pernah luput pasti ada yang membenci kita. Lagi-lagi Hannah, sejak pertama Anna masuk pesantren ini, dia termasuk deretan orang yang tidak suka dengan kehadiran Anna, karena Anna juga dimasukkan ke kelas Alfiyyah satu bersama Nafisah. Tak tahu entah dengan alasan apa dia sangat membenci Anna. Sama dengan yang dialami Nafisah dulu.
Suatu ketika, dia bermaksud hendak menjatuhkan harga diri--mempermalukan Anna di depan para santriwati, dengan menuduhnya telah berusaha mencelakai dirinya.
"Anna... kamu kenapa sih, gak suka banget sama aku, kamu sengaja ya nuang minyak goreng itu biar aku jatuh, kamu jahat tahu nggak."
"Apa kamu bilang, aku yang jahat? nyadar dong jelas-jelas aku baru datang dan kamu sudah sejak tadi disini."
Berapa santriwati yang hendak pergi menuju perpustakaan tercekat diam, melihat perdebatan itu. Ada sebagian dari mereka yang mencaci maki Anna. Ada yang hanya diam dan ada yang ingin memberontak tapi tak kuasa karena yang akan dihadapinya adalah orang kepercayaan kyai Luthfan, Ya, di usianya yang masih duduk di bangku kelas sebelas di MA Nurul Huda, tapi dia dipercaya untuk menjadi ketua pengurus pondok pesantren Nurul Huda puteri oleh kyai Luthfan.
Nafisah menyelinap masuk kedalam kerumunan santriwati di depan aula Nurul Hikam itu dan menyelidiki peristiwa yang terjadi. Anna mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan Hannah pun tak mau diam untuk tetap menjatuhkan Anna. Mata Anna mulai basah. Dia memang paling gak tahan jika ada ingin bermasalah dengannya. Nafisah pun mengambil langkah.
"Ustadzah... Hannah, eh, calon ustadzah maksudku... maafkan saya jika saya lancang, tapi coba anda pikir baik-baik, jika memang sahabat saya ini yang punya niat mencelakai anda, lalu kenapa botol minyak goreng itu ada di tangan anda, dan Anna yang jatuh bukan anda?"
"Ini jelas bukan Anna yang salah tapi anda."
Hannah bungkam. Sesekali menatap Nafisah dengan tatapan marah dan tidak suka.
"Awas kamu Nafisah!" Hannah pergi.
"Saya tak akan takut dengan ancaman anda, karena anda hanya berani mengancam gak berani melakukan ancaman itu."
"Fis... udah, udah..."
Hannah memang tak akan pernah menang ketika lawan bicaranya adalah Nafisah. Kata-kata Nafisah selalu membuatnya mati kutu. Hannah meninggalkan mereka dengan sedikit kesal. Nafisah bernapas lega melihat dia telah pergi.
"Kamu gak papa An?"
"Tidak. Makasih ya, makasih juga tadi kamu mengakui aku sebagai sahabat kamu."
"Loh... kamu lupa, bukannya kamu sendiri yang minta aku jadi sahabat kamu?"
Nafisah menyunggingkan senyum ejekannya. Anna hanya tersenyum simpul melihat respon gadis yang telah menjadi sahabatnya itu.
"Iya, iya..."
"Tak kirain udah pikun?"
"Memoriku masih fresh neng... enak aja aku dibilang pikun..."
Ucap Anna sambil sesekali menyenggol lengan Nafisah pelan. Lagi dan lagi, keduanya terlarut dalam derai tawa bahagianya.
"Kamu memang sahabat terbaikku Fis... aku bahagia bisa memiliki kamu, ada kamu disampingku itu membuatku merasa aman."
Batin Anna berbisik. Dia menatap lembut wajah Nafisah. Merasakan kedamaian yang selalu tampak di wajahnya.
****
Cuma segini aja, buat bagian ini guys... semoga kalian suka.
Dan, aku gak bakal bosen, buat minta kalian memberikan vote dan comment kalian mengenai tulisan ini.
Thanks.

KAMU SEDANG MEMBACA
Syahiidah (Tamat)
General FictionCerita ini menceritakan tentang perjalanan seorang santri dalam menempuh jalan hidupnya, tidak terkecuali kisah percintaannya, hingga ia menemui ajalnya, karena tragedi yang terjadi di pesantren, dan semoga, ia ditakdirkan untuk menjadi seorang Syah...