17. Dia?

182 25 23
                                        


Nafisah sudah ingat sekarang. Ya, benar sosok lelaki yang sedang berdiri di bingkai jendela itu, pernah muncul dalam mimpi Nafisah beberapa waktu lalu. Allah? Pertanda apakah ini? Kenapa Nafisah bisa bertemu dengannya disini? Siapa dia?

"Hati-hati nak, lihat-lihat dulu kalau mau buang airnya!"

Nafisah melipat dahinya mendengar kata-kata Nyai Nur Jihan. Siapa lelaki itu? Nak? Nyai Nur Jihan memanggilnya dengan sebutan anak? Mungkinkah, beliau adalah putera kyai Luthfan yang sempat neng Vira ceritakan kemarin? Mungkinkah dia Gus Fauzan, kakaknya neng Vira?

"Ma'afkan anak saya, dia Fauzan anak saya yang nomer dua, kebetulan dia baru datang dari London."

Dan, benar. Dia adalah lelaki hebat yang diceritakan neng Vira kemarin. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun yang sudah menyelesaikan study S-1-nya di London University, di fakultas kedokteran.

"Maafkan dia nak."

Nyai Nur Jihan kembali meminta maaf. Nafisah mengangguk sembari menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya. Nyai Nur Jihan lalu meminta Nafisah untuk membereskan kamar neng Vira, setelah dia berganti pakaian dulu. Nyai Nur Jihan lalu meninggalkannya.

"Please... wait!"
(Tunggu!)

Lelaki itu menghentikan langkah Nafisah. Sebagai seorang santri Nafisah takut untuk menoleh. Karena peraturan yang ada disana. Terlebih utama lelaki itu bukan mahromnya. Merasa lancang jika dia bersitatap dengan lelaki yang ternyata putera kyai Luthfan itu.

"Please... look me, I want to speak with you."
(Lihat saya, saya ingin berbicara sesuatu dengan kamu.)

Laki-laki itu masih belum bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat, bukan tidak tahu hanya saja belum terbiasa, dari lamanya tinggal di London, makanya lebih sering bahkan masih belum berbahasa Indonesia tapi berbahasa Inggris. Spelling English-nya masih terdengar kental. Beruntung yang diajak bicara adalah Nafisah, yang juga bisa menggunakan bahasa Inggris. Dengan sedikit terpaksa Nafisah membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lelaki itu. Tak seperti tadi, dia menundukkan pandangannya. Menyembunyikan pipi merahnya yang semakin merona, karena gugup dilihat lelaki itu. Sadar, dia bukan siapa-siapa, dan merasa tak berhak memandang wajah asri yang sedang berdiri di bingkai jendela biru itu.

"Are you Nafisah? where are you come from?"
(Kamu Nafisah? Dari mana?)

"Yes, I come from Parangtritis."
(Ya, saya dari Parangtritis.)

"Wow... It's far.."
(Wow... jauhnya.)

"Yes..."
(Ya) Nafisah menjawab pelan.

"Oh... forgive me about the insident."
(Oh... Maafkan saya soal kejadian barusan.)

"No problem, Gus... Doctor... Fauzan."
(Tidak apa-apa Gus... Dokter... Fauzan.)

"Hey, dont call me with Gus, or doctor!"
(Hey, jangan panggil saya dengan sebutan Gus, ataupun dokter?)

"Why? You is cleric Luthfan's son? He is my religion teacher. Is it wrong, if I want to glorify his son? And you, just graduated from medical school in London, right? Isn't medical school graduate called a doctor?"

(Kenapa? Kamu putera kyai Luthfan kan? Beliau adalah guru saya. Apakah salah jika saya ingin memuliakan anaknya? Apalagi, kamu sudah lulus di fakultas kedokteran di London kan? Bukannya lulusan sarjana kedokteran dipanggil dokter?)

Entah mendapat keberanian dari mana, Nafisah malah santai menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari gus Fauzan. Bahkan dia tak lagi merasakan canggung yang sebelumnya begitu menyiksanya. Nafisah terlihat akrab sekali dengan gus Fauzan.

"Yes it is. But, i don't want you to call me that."
(Iya, memang. Tapi, saya tidak mau kamu memanggil saya dengan sebutan itu.)

"Why?"
(Kenapa?)

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang