34. Air Mata Itu

131 16 2
                                        

“Nafisah...”

Terdengar suara lirih memanggil Nafisah. Nafisah memastikan sisi kanan dan kirinya, tak ada seseorang. Bulu kuduknya mulai merinding jangan-jangan.... hantu lagi. Tapi... masak iya pagi-pagi buta kayak gini ada hantu. Rasa penasaran Nafisah menyuruhnya mencari tahu suara tadi.

“Sssst... I'm here.”

Suara itu...? Ya, suara ustadz Fauzan. Nafisah menoleh dan ternyata ustadz Fauzan telah berdiri tegap dengan senyuman khasnya. Nafisah sempat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ustadz Fauzan beranjak mendekati Nafisah.

“Assalamualaikum Nafisah, how are you?”

“Waalaikumussalam, I'm, I'm fine... Sorry ustadz Fauzan, I must go.”

Teringat kejadian beberapa waktu lalu. Nafisah tak ingin ada yang melihatnya bersama ustadz Fauzan. Dia mengambil langkah hendak meninggalkan ustadz Fauzan.

“Nafisah... please wait! I want to speak with you. Please. Just now, I promise.”

“Ustadz Fauzan, what do you want to talk to me?”

Ustadz Fauzan mengajaknya ke taman belakang aula Nurul Hikam. Mereka kembali mengingat nostalgia cinta mereka yang tak dapat bersatu karena perjodohan ustadz Fauzan dengan ustadzah Anna. Mata ustadz Fauzan mulai basah.

"Air mata itu... seumur hidupku, sepanjang perjalanan hidupku mengenal sosok seorang Fauzan, tak pernah ku lihat air mata itu melintas setitik pun di dua mata hitam pekatnya. Hanya hari itu dan detik itu aku menyaksikan dengan dua mataku sendiri ada sebilur air mata telah menggenangi pelupuk matanya. Dan air mata itu telah berhasil mengiris-ngiris hatiku. Perih rasanya. Sakit. Ya Allah... jangan biarkan air mata itu membuat wajah putihnya terlihat muram. Tuhan, Jangan biarkan cahaya yang selalu membuat wajahnya berseri-seri itu hilang hanya dengan setitik air mata itu. Hamba tak sanggup melihatnya bersedih. Fauzan... please! hapus air mata itu." Ucap Nafisah dalam hatinya. Nafisah menatapnya nanar.

“Ustadz Fauzan, why are you cry?”
“Please.... hapus air mata itu! Harusnya saya yang menangis, kenapa jadi malah you yang menangis, you is man, you must strong. Harus bisa melawan terpaan ujian dan musibah yang melanda.”

Sepertinya, kata-kata Nafisah bukan membuat air mata ustadz Fauzan berhenti menetes. Malah membuatnya semakin menjadi-jadi. Hidung mancungnya pun memerah.

“Habisnya you jadi perempuan kuat banget, I am so amazed, I very moved with you. Really.”
(Saya sangat terharu. Saya benar-benar salut sama kamu. Sungguh.)

Nafisah tersenyum.

“Memang itu yang seharusnya kita lakukan, jika kita diberi ujian oleh Allah, bukan...? Bukankah tadi ustadz Fauzan mendengar penjelasan saya kepada para santriwati. Saya tadi sempat lihat ustadz Fauzan mondar mandir didepan aula. Pasti bisa mendengar apa yang sedang dibahas didalam, bukan?”

"Yes, i listened! But, biarkan saya menangis! Sekali ini saja, Nafisah!"

Tidak ada yang bisa Nafisah lakukan waktu itu selain menuruti permintaan ustadz Fauzan. Membiarkan bilur demi bilur air mata merusak aura ketampanan wajahnya, sementara waktu.

"Ustadz... boleh saya minta sesuatu?"
"Apa?" Ustadz Fauzan menyeka air matanya.

"Jaga Anna baik-baik, ya. Karena jika kamu menyakiti dia, itu artinya, kamu juga menyakiti saya. Dia adalah separuh napas saya ustadz."

“Yes... and because that I promise, I akan berusaha ikhlash. Thanks for valuable lesson.”
(Ya... dan karena itu saya berjanji, saya akan berusaha ikhlash. Terima kasih atas pelajaran berharganya.)

"You are wellcome."

Nafisah kembali menyunggingkan senyumnya. Huft... betapa hatinya merasa lega ketika mendengar pernyataan ustadz Fauzan bahwa ia berjanji akan ikut belajar ikhlash menerima kenyataan ini, dengan begitu, ia pasti akan membahagiakan Anna, dan ketika dia melihat Anna bahagia, tentulah hati dan jiwanya akan ikut bahagia karena baginya Anna adalah separuh jiwanya.

***
Komen guys!

Jangan lupa, sentuh bintangnya di pojok bawah ya!

See you next part!

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang