30. Kabar Angin

127 20 0
                                        

Berita mengenai salah satu ustadzah yang diam-diam menyukai ustadz Fauzan pun mulai terdengar ke beberapa sisi Nurul Huda.

Pagi itu, ketika hendak berangkat ke kantor MI Nurul Huda, Nafisah mampir sebentar ke tempatnya ustadzah Nur Laila di blok D. Tapi, sampai disana ustadzah Nur Laila sudah terlebih dahulu berangkat ke kantor.

Di pojokan kamar berukuran agak besar itu, Nafisah mendengar beberapa obrolan kecil teman-teman sekamar ustadzah Nur Laila. Sebenarnya, Nafisah sudah berbalik arah untuk meninggalkan blok D. Tapi, langkahnya terhenti, ketika nama Anna terdengar di telinganya.

"Iya mbak... dengar-dengar putri kyai yang dari Pasuruan itu, suka sama dokter Fauzan ya?"

"Siapa sudah namanya?"
"Ustazah Anna."

"Sepertinya memang iya, masak setiap doktet Fauzan praktek, dia selalu ke klinik."

"Lah, iya tah dek? Dia kan bukan pengurus klinik?"

"Yaelah coy... gak peka banget sih... buat apa lagi? Ya pasti mau ketemu dokter Fauzan lah."

"Benar-benar ya tuh orang..."

"Cocok gak sih, menurut kalian kalau ustadzah Anna itu sama dokter Fauzan?"

"Iya, cocok sih... secara ustadzah Anna kan cantik, dokter Fauzan pun juga ganteng."

"Mereka kan sama-sama keturunan kyai?"

"Memang..."

"Cocok."

"Aku lebih setuju sama ustadzah Nafisah deh.." Ada yang menyela.

"Lah, kok dia?"

"Dia juga cantik, melebihi ustadzah Anna malah. Dia baik, orangnya tulus, dan ramah."

"Mendingan beliau ketimbang ustadzah Anna kan?"

"Ustazah Anna masih sering molor, dan agak kurang sabar dibanding ustadzah Nafisah."

"Bener juga kata kamu, cuma mereka beda. Dokter Fauzan putera seorang kyai... sedang ustadzah Nafisah? Bukan kan?"

Astaghfirullahal azim... Nafisah beristighfar pelan. Tak menyangka kalau ada kabar miring yang sedang memperbincangkannya. Nafisah melanjutkan langkah kakinya, dan berlalu, agar tidak terlalu lama mendengar kabar menyakitkan itu.

Sesampainya di kantor, Nafisah jadi tak enak pikiran. Mumet. Apa yang harus dia lakukan saat ini. Nafisah menghembuskan napasnya kasar. Sesekali menatap tumpukan-tumpukan berkas sekolah yang seharusnya ia kerjakan hari ini, dengan malas. Mood untuk melakukan aktivitasnya seolah lenyap begitu saja. Benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Nafisah membiarkan layar komputernya menyala. Dan beberapa berkas yang berserakan akibat ulahnya sendiri.

"Kalau benar Anna suka sama ustadz Fauzan, apa yang harus aku lakukan?"

"Bagaimana jika Anna tahu kalau ustadz Fauzan telah menaruh hatinya pada orang lain?"

"Bagaimana pula, jika Anna tahu kalau orang yang dicintai ustadz Fauzan adalah aku?"

"Oh tuhan... kenapa ini yang harus terjadi?"

"Kenapa aku selalu terjebak dalam dilema menyakitkan seperti ini?"

"Kenapa harus Anna, kenapa juga harus aku, yang dicintai ustadz Fauzan?"

Nafisah menyapu wajahnya dengan kasar. Sesekali meremas-remas ujung kerudungnya, dan memukul-mukulkan tangan di kepalanya, pelan.

"Sesekali mikirin diri sendiri itu penting... jangan selalu mengedepankan orang lain."

"Jangan pikirkan orang lain terlebih dahulu kalau hak kita belum terpenuhi..."

Nafisah tersentak kaget dari tindakan bodohnya itu. Dengan mengatur raut wajah yang sempat muram dan kesal tadi, Nafisah berbalik arah melihat orang yang berkata. Seorang lelaki bertubuh tegap dengan masih mengenakan baju dinas prakteknya di klinik, sudah berdiri tepat di hadapannya.

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang