9. Putri bungsu sang pengasuh

210 29 0
                                    

"Neng Vira ya?"

Qotrun Nada Savira, putri bungsu kyai Luthfan yang biasa disapa Vira itu, menyeka air mata yang sejak tadi membasahi dua lesung pipinya. Dia menatap Nafisah lembut. Lalu mengangguk pelan.

Sudah dua hari dia pergi dari dhelem (madura.red/rumah kyai). Meninggalkan rumahnya. Dan memilih tinggal di asrama santri putri yang lama. Memang jarang-jarang ada santri yang pergi kesana, karena sudah lama tak berpenghuni. Sepi. Menakutkan. Dan entahlah. Para santri Nurul Huda mengaku takut karena dianggap angker.

"Sepertinya punya masalah neng?"
Neng Vira tak merespon.

"Maafkan saya jika lancang neng Vira, kyai Luthfan barusan memanggil saya..."

Neng Vira tiba-tiba berdiri dan hendak melangkah mendengar kata-kata Nafisah.

"Neng Vira... tunggu!"

"Nggak... saya gak mau bicara dengan mbak, jika mbak tetap memaksa saya untuk pulang."

Nafisah belum saja mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi kepada neng yang satu ini. Kenapa ketika beliau mendengar nama kyai Luthfan disebut, beliau langsung berdiri, dan berkata tidak mau pulang. Apa yang terjadi? Nafisah membatin.

Neng Vira pergi ke ujung koridor bangunan lama itu. Nafisah mengikutinya. Lama dia terdiam, lalu mengeluarkan sebuah korek api dan menyalakannya. Tatapannya kosong memandangi kobaran api itu. Dia tetap diam. Dan akhirnya dia melemparkan korek api itu. Sesaat kemudian, kayu-kayu lapuk yang berserakan di dekatnya mulai tersulut sedikit demi sedikit. Betapa kagetnya Nafisah. Matanya terbelalak, membulat sempurna.

Nafisah langsung berlari menuju arah neng Vira untuk berusaha menghindarkannya dari api yang semakin membesar itu.

"Lepaskan tangan saya."

Neng Vira menepis tangan Nafisah yang berhasil mencengkram tangannya.

Neng Vira menaiki tembok setengah badan disamping api itu, dan siap melompat. Air matanya terus meleleh. Nafisah sangat terkejut melihatnya. Tanpa banyak berpikir Nafisah mengambil langkah dan merangkul neng Vira dan berusaha menurunkannya.

"Lepaskan saya mbak...!"

"Tidak... neng Vira sedang marah, jangan lakukan itu neng!"

"Buat apa saya hidup mbak?"

"Neng Istighfar!"

Neng Vira berusaha melepaskan tangan Nafisah. Astaghfirullahal adzim... Tangan Nafisah tersambar sulutan api itu. Tangannya pun memerah. Mata Nafisah basah. Ingin rasanya dia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Tangannya terasa sangat sakit ditambah saat berusaha memegang kembali tangan neng Vira, tangannya terhempas dan mengenai pojokan tembok.

Tapi Nafisah berusaha menahan rasa sakitnya itu. Neng Vira yang memang benar-benar dalam keadaan labil itu tak menghiraukan apa yang terjadi kepada Nafisah. Emosi negativenya bereaksi sangat kuat hingga menghilangkan pikiran sehatnya. Hanya marah dan marah yang selalu ada dalam hatinya. Namun, meski dengan kondisi seperti itu, Nafisah tak pernah patah semangat untuk meluluhkan hati neng Vira. Neng Vira terdiam melihat betapa bersikerasnya Nafisah ingin menghindarkannya dari bahaya itu.

Dan akhirnya dia menurunkan lututnya dan bersimpuh. Nafisah hanya diam tanpa mengambil tindakan. Dia akan membiarkan neng Vira mengekspresikan kemarahannya semaunya. Tak pernah dia mengkritik atau apapun dengan apa yang dilakukannya. Nafisah dengan sabar akan menunggu saat neng Vira bisa menerima kehadirannya.

 Nafisah dengan sabar akan menunggu saat neng Vira bisa menerima kehadirannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang