“Dan sekarang mas mengerti kenapa kamu dulu menolak mas.”
Ustadz Amir kembali berbisik di telinga Nafisah. Nafisah menghapus air matanya. Lalu tersenyum. Ustadz Amir membelai lembut kepalanya.
“Sama sekali gak ada hubungannya dengan itu mas.”
“Ya sudahlah, tak usah dibahas lagi.”
“Makasih ya mas. Nafisah minta ma'af mas, karena telah menolak lamaran mas dulu.”
“Sudah... lupakan itu. Selamanya kamu adalah adikku. Jadi aku tak pernah merasa kalau kamu bersalah.”
“Mungkin ini jawabannya mas. Dulu waktu aku mempertimbangkan lamaran mas itu, aku merasa berat untuk memutuskan iya dan aku tidak tahu alasannya kenapa aku berkeberatan. Allah maha tahu kalau hidup aku tak akan lama lagi. Allah tidak ingin mas terluka ketika suatu saat aku pergi dari kehidupan mas Amir, makanya dulu aku dibuat merasa keberatan oleh-Nya.”
“Nafisah... kamu bicara apa?”
“Sudah jangan ngomong kayak gitu lagi.”
Tiba-tiba setelah acara digelar, karena semakin banyaknya santri berbondong-bondong membantu ustadz Fathor Rozy memadamkan api yang ternyata semakin bergejolak dan menghanguskan dapur bambu itu, keluarga kyai Luthfan akhirnya mengetahui tentang masalah yang terjadi saat itu. Sebagai seorang ibu, nyai Nur Jihan yang sedari tadi tak menyadari bahwa putri bungsunya tidak hadir saat prosesi akad nikah kakaknya pun mulai histeris, sadar, neng Vira tak ada di tempat.
“Vira.... di mana Vira?”
Semua yang ada di sana termasuk para undangan panik, apalagi ada laporan dari Fahiroh santriwati kelas 6 Al Adna yang pernah meminta Nafisah mengisi acaranya, bahwa Nafisah juga tak ada. Orang pertama yang histeris mendengar laporan itu adalah Anna. Bagaimana tidak, dalam setiap waktu Nafisah selalu hadir untuknya, tapi kali ini pada saat yang baginya istimewa, sahabatnya itu tidak ada di tempat. Ustadz Halim, tergopoh-gopoh dari arah selatan memberi kabar dari ustadz Amir bahwa ia sedang bersama neng Vira dan Nafisah di rumah sakit Bumi Indah. Semua wajah bertanya-tanya, apa yang terjadi? Kyai Luthfan beserta keluarganya pun berangkat menyusul mereka bertiga.
Neng Vira dan ustadz Amir mencari informasi tentang keluarga Nafisah. Dan Alhamdulillah dalam hitungan menit telpon ustadz Amir telah tersambung dengan orang tua Nafisah.
“Bi... ini Amir...”
“Amir... siapa?”
“Anaknya bu Jamilah bi...”
“Iya nak ada apa?”
“Bibi harus ketemu sama Amir sekarang. Kalau bisa sama paman. Nafisah sedang butuh kalian.”
“Kamu ada di mana nak?”
“Nanti Amir tunggu di jalan pahlawan ya bi.”
“Iya bibi dan paman kesana sekarang nak.”
Setelah mendengar kabar itu, Nariyah dan Hasan pun berangkat menemui Ustadz Amir, dengan menggunakan bis kota.
“Nak Amir... apa yang terjadi pada adikmu?”
Ternyata Ustadz Amir adalah kakak sepupu dari Nafisah. Tapi tak banyak yang tahu termasuk neng Vira sendiri.
“Amir... juga gak tahu bi... tiba-tiba neng Vira menghampiri saya ke pondok, dan minta bantuan Amir, Nafisah terjebak dalam kebakaran.”
Ustadz Amir mengikuti langkah Nariyah dan Hasan menuju ruang rawat Nafisah. Langkahnya begitu tergesa-gesa.
“Nafisah....”
Nariyah berteriak begitu tiba di pintu masuk ruang rawat Nafisah. Wajahnya yang mulai berkerut terlihat sembab. Dia berlari dan menghambur ke pelukan Nafisah. Membuat Nafisah meringis kesakitan. Nariyah, lalu melepas pelukannya. Air matanya semakin deras.

KAMU SEDANG MEMBACA
Syahiidah (Tamat)
General FictionCerita ini menceritakan tentang perjalanan seorang santri dalam menempuh jalan hidupnya, tidak terkecuali kisah percintaannya, hingga ia menemui ajalnya, karena tragedi yang terjadi di pesantren, dan semoga, ia ditakdirkan untuk menjadi seorang Syah...