"Mbak... dengar-dengar mbak mau pulang kampung ya?"
Neng Vira menemui Nafisah di ruang kerjanya--kantor MI Nurul Huda.
"Insya'allah iya neng, kebetulan kampus libur. Disini juga tak banyak pekerjaan. Kenapa?"
"Ikut dong mbak!" Neng Vira mulai merengek.
"Bagaimana dengan sekolah neng Vira?"
"Bisa ijin mbak... boleh ya?"
"Tapi kan neng Vira sudah hampir ujian?"
"Mbak berapa hari pulangnya?"
"Insya'Allah hanya dua hari neng..."
"Cuma sebentar kan mbak, Vira boleh ya ikut mbak Nafisah kesana?"
"Iya boleh, asal diizinkan oleh kyai dan nyai."
"Ok, saya akan pamit sama abah dan ummi."
Neng Vira meninggalkan Nafisah untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya. Sedang Nafisah melanjutkan lukisan di kanvasnya. Lukisannya semakin bagus saja. Ya, sejak memasuki bangku MA, sampai detik ini Nafisah sangat menyukai lukisan. Bahkan, waktu masih di MA, Nafisah sempat ikut les melukis pada guru SENI BUDAYA-nya. Pasti, setiap lukisan yang dia buat mengandung nilai estetika tersendiri yang berbeda dari kebanyakan lukisan lainnya.
"Mbak Nafisah..."
Beberapa waktu kemudian neng Vira sudah kembali dengan membawa seutas senyum manis di bibirnya. Aura kegembiraan pun terpancar dari wajahnya yang anggun.
"Abah... ngizinin saya ikut mbak Nafisah."
"Oh ya?"
Neng Vira mengangguk dan tak mau melepaskan senyum manis di bibirnya itu. Nafisah pun ikut tersenyum melihat neng Vira yang melompat-lompat kegirangan.
***
Fajar shadiq telah membentangkan cahayanya. Nafisah sudah sejak jam tiga tadi berada di musala. Para santriwati pondok pesantren Nurul Huda telah berjejer rapi memenuhi saf-saf dan mulai khusyuk dalam shalatnya. Sungguh, hati ini begitu merasakan ketenangan ketika berhadapan dengan sang Khaliq. Seperti tak ada masalah yang mengganggu kita.
Setelah pengajian al qur'an selesai. Nafisah bersiap untuk pulang kampung. Neng Vira dan neng Anna sudah menunggu di pintu gerbang. Setelah berpamitan kepada kyai Luthfan dan nyai Nur Jihan, mereka bertiga berjalan ke arah selatan menuju halte bus. Sejurus kemudian mereka sudah duduk dengan tenang di atas kursi bus yang akan mengantar mereka ke Parangtritis.
Pemandangan yang begitu indah. Nafisah, neng Vira dan neng Anna sudah di Parangtritis. Karena posisi tempat tinggal Nafisah berada di wilayah bagian tengah desa Parangtritis yang merupakan dataran rendah yang dipengaruhi pembentukan graben bantul dan terendapi material vulkanik gunung merapi yang memang berpotensi sebagai lahan pertanian, tampak di depan mata mereka sawah-sawah dan ladang membentang luas, menghijau. Pepohonan-pepohonan rindang menghiasi sepanjang jalan. Tampak rumah-rumah panggung berdinding kayu beratapkan ijuk, juga ada beberapa rumah yang terbangun dari dinding-dinding beton, berjejer berkelompok demi kelompok di tengah-tengahnya.
"Itu rumah saya neng."
Nafisah mengangkat jari telunjuknya dan mengarahkan pada sebuah rumah panggung yang berada di tengah-tengah ladang padi yang cukup luas. Rumah kecil berdinding kayu yang mulai berlubang karena ulah rayap-rayap liar dan atap ijuk yang mulai lapuk. Lebih layak disebut gubuk. Ya. Gubuk kecil tapi serasa bagai istana. Karena orang yang menempatinya merasa cukup, meski hanya dengan sebuah gubuk kecil itu. Memang benar, rumah itu ibarat bungkus nasi. Meski bungkusnya hanya selembar daun pisang tapi ketika yang memakan mensyukuri dan menikmati makanan yang ada didalamnya, tentu terasa seperti memakan makanan-makanan yang sangat lezat, seperti tak ada tandingannya. Sebaliknya meski bungkusnya sudah mecing, mapan dan sangat indah dilihat, tapi ketika yang memakannya tak mensyukuri dan selalu merasa tidak cukup pasti mereka tak akan merasakan lezatnya makanan yang disantapnya karena mereka selalu merasa kurang.
![](https://img.wattpad.com/cover/208754377-288-k179131.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahiidah (Tamat)
قصص عامةCerita ini menceritakan tentang perjalanan seorang santri dalam menempuh jalan hidupnya, tidak terkecuali kisah percintaannya, hingga ia menemui ajalnya, karena tragedi yang terjadi di pesantren, dan semoga, ia ditakdirkan untuk menjadi seorang Syah...