22. Aneh

123 18 0
                                        

"Ustadzah Nafisah..."

"Ya? Ada apa Nita?"

"Kapan Haviza dan Rania, bisa dijemput?"

"Hari ini sudah bisa dijemput."

"Ustadzah bisa bantu kami menjemputnya kan?"

"Tentu saja."

"Biar aku saja Fis."

Terdengar suara Anna dari dalam kamarnya. Dia beranjak keluar dengan baju rapi. Sebenarnya, aneh sih, Anna sebelumnya tidak pernah mau jika disuruh mengantar atau menjemput santri di klinik. Dengan alasan trauma lihat klinik. Tapi, hari ini, dia malah menawarkan diri.

"Tenang aja Fis, aku udah gak takut lagi kok untuk masuk klinik." Kata-kata Anna seperti mengetahui isi pikiran Nafisah.

"Lagian, kamu belum siap juga kan? Dari pada si Nita masih nunggu kamu siap-siap, biar aku aja yang menemani dia."

"Memang ustadzah Anna bisa mengurusnya? Kemarin yang mengurus mereka berdua kan ustadzah Nafisah?"

"Sudahlah Nita. Ustadzah Anna benar. Biar lebih cepat kamu sama beliau saja. Kamu gak sabar kan pengen segera ketemu sama dua temanmu itu?"

"Ya sudah ustadzah, terima kasih."

***

"Lah, yang piket sekarang bukan dokter Fauzan?"

Tanya Anna dengan spontan begitu tiba di ruang pemeriksaan untuk minta surat rekomendasi dari dokter untuk membawa dua santri putri itu pulang.

"Yang anda lihat siapa?"

Ucap dokter yang ada didepan Anna dengan suara datar, juga wajah tanpa ekspresi. Ada raut kekecewaan di wajah Anna saat mengetahui hal itu. Padahal yang dia inginkan bukan dirinya.

"Emang dokter Fauzan jadwalnya hari apa saja?"

Berani-beraninya Anna bertanya seperti itu.

"Anda pertama kali masuk klinik ini ya? Bukannya didepan sudah ada banner jadwal kerja dokter disini? Kalau belum lihat, tuh!"

Lelaki yang memakai kemeja rapi disertai jas putih kebesarannya, sebagai seorang dokter, yang sedang duduk sambil fokus mengerjakan tugas di mejanya, itu, menunjuk salah satu banner yang terpajang di salah satu dinding di sebelah barat ruang pemeriksaan. Dokter yang satu ini, memiliki karakter yang berbeda dengan dokter Fauzan. Irit senyuman, bicaranya juga terdengar dingin. Membuat Anna menyesal sudah mau mengganti posisi Nafisah tadi. Seandainya saja, tadi dia membiarkan Nafisah yang menjemput Rania dan Haviza, pasti dia tidak akan bertemu dengan dokter bermuka flat itu.

"Tujuan anda kesini, untuk menjemput pasien yang sudah dirawat dua hari yang lalu disini kan?"

"Jadi, apa gunanya anda menanyakan jadwal piket dokter Fauzan?"

"Seharusnya, anda kesini mengurus administrasinya, biar dua santri itu segera keluar dari klinik ini. Mereka pasti sudah tidak sabar ingin keluar. Ini surat rekomnya."

Lagi, Anna harus menghela napasnya berat dan berusaha tenang, melihat sikap dingin dokter yang satu ini. Segera dia meraih surat rekomnya, dan pergi untuk mengurus administrasi.

***

"Kenapa, kok wajahnya kusut gitu habis dari klinik?"

Anna memasuki kamarnya dengan raut wajah tidak bersahabat. Dia lalu membuka kerudungnya dan meletakkannya asal.

"Sebel banget aku Fis, nyampek sana ketemu sama dokter yang nyebelin. Udah dingin, bermuka flat dan pokoknya ngeselin banget deh."

"Dokter Fauzan maksudmu? Masak sih dia nyebelin, perasaan kemarin dia ramah sama aku dan Rania, juga Haviza."

"Bukan. Pokonya, dokter yang satu itu, nyebelinnya minta ampun, beda banget sama dokter Fauzan."

"Bukan jadwalnya dokter Fauzan sekarang, katanya."

"Oh iya, hari ini kan hari senin."

"Terus kenapa?"

"Dokter Fauzan punya jadwal ngajar di MI."

"Kok kamu tahu?"

"Tadi aku lihat dia di kantor."

"Enak banget kamu ya Fis, bisa ketemu ustadz Fauzan."

"Kamu kenapa? Sepertinya, pengen banget ketemu sama dokter Fauzan? Sampek segitu kecewanya karena gak ketemu? Terus, wajah kamu kayak gak suka gitu, saat tahu aku tadi lihat dokter Fauzan di kantor? Apa salahnya, aku juga ngajar di MI loh."

Nafisah bertanya, dengan raut wajah heran, tapi, hanya dibalas kedikan bahu Anna, acuh. Disadari atau tidak, akhir-akhir ini, Anna memang sering menunjukkan sikap tidak suka, jika Nafisah membahas dokter Fauzan didepannya. Seperti orang cemburu gitu. Tapi, Nafisah selalu berpositif thingking. Karena menurutnya, ini tidak seharusnya terjadi. Lagi pula, Nafisah dan ustadz Fauzan sendiri, tidak mempunyai hubungan apa-apa. Makanya, Nafisah selalu mencari jalan untuk mengalah pada Anna. Nafisah menghela napas berat. Berusaha menetralkan perasaannya yang tiba-tiba menjadi kesal dengan sikap Anna sekarang.

"Pasti dokter yang kamu temui itu, dokter Faizal."

Nafisah mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gak tahu lah Fis, jangankan tahu namanya, lihat sikapnya aja moh banget."

"Dia emang gitu katanya anak-anak yang udah pernah masuk klinik."

"Cuek. Tapi, dia baik kok katanya."

"Gak peduli aku."

Anna masih saja mempertahankan wajah kusutnya didepan Nafisah.

***
Jangan lupa sentuh bintangnya, dan keluarkan pendapat kalian di kolom komentar!

Tunggu part selanjutnya ya!

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang