Liburan kali ini neng Anna pulang lebih akhir dari waktu biasanya karena dia ikut Nafisah berlibur ke Parangtritis. Dan saat ini dia sudah menunggu bis kota yang menuju Pasuruan bersama Nafisah. Sesaat kemudian mereka sudah menaiki bis. Beberapa waktu kemudian, neng Anna sudah terlelap dalam tidurnya. Sedang Nafisah masih fokus membaca al qur'annya.
"Assalamualaikum"
"Nafisah... ini ibuku..."
Nafisah mencium lembut tangan nyai Khadijah, ibunda ustadzah Anna.
"Mari duduk nak, anggap saja ini rumahmu, Anna kan teman kamu sendiri."
Nyai Khadijah tersenyum begitu anggun. Nafisah menjawabnya lembut. Nafisah pun mengambil langkah dan mulai duduk di lantai beralaskan karpet merah yang terdapat di ruang tamu--tak terpikirkan, kalau warna karpet itu sama dengan karpet di rumah nyai Nur Jihan. Entah kebetulan, atau memang ada yang masih belum jelas.
Begitu lancang rasanya jika dia duduk diatas kursi itu, dia hanya seorang santri Nurul Huda yang dipercaya neng Anna untuk menemaninya berlibur di pondok pesantren Nurul Adzkiya' itu."Nafisah... kenapa kamu duduk di bawah nak?"
"Tidak apa-apa nyai, kursi itu terlalu mulia untuk diduduki gadis seperti saya."
"Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa, saya hanya merasa tak pantas saja."
"Kamu ini ada-ada saja. Ya sudah lah kalau kamu memilih duduk di bawah."
"Ibu tinggal dulu ke belakang ya nak."
***
Senja mulai turun. Petang pun mulai menyelimuti bumi pertiwi, sebentar lagi malam menjelang. Setelah berwudlu' Nafisah mengikuti shalat berjamaah maghrib di mushollah pesantren, meski Anna berulang kali memintanya agar shalat di kamar saja, Nafisah tidak mau, dia ingin merasakan bagaimana berjamaah disana.
Malam yang begitu indah baginya. Hatinya bertasbih melihat pemandangan di musala Nurul Adzkiya' itu. Tak kalah indahnya dengan Nurul Huda, bahkan menurutnya disana lebih indah.
Sejak memasuki pintu masuk musala tak satupun Nafisah menjumpai segelintir santri yang masih sibuk bercerita, mereka tak seperti santri Nurul Huda yang terkadang meski sang imampun sudah berdiri hendak melaksanakan shalat, ada saja beberapa gelintir santri yang masih asyik berbicara. Saf-saf mereka berjejer rapi.
Setelah itu, Nafisah juga mengikuti pengajian kitab kuning kepada kyai Hamid. Sungguh. Anna tak bisa membujuk Nafisah kalau dia sudah menginginkan sesuatu. Malam semakin larut, Anna mengajak Nafisah untuk istirahat di kamarnya. Seperti yang telah lalu, Nafisah awalnya menolak tawaran neng Anna karena dia merasa lancang. Namun kali kali ini dia tak bisa menolak ajakan Anna.
"Fis.. itu namanya bukan berlibur, masak ngikut kegiatan pesantren terus, apa bedanya kamu berada di Nurul Huda dan disini?"
"Tentu saja berbeda An..."
"Liburan itu gak harus nyantai terus An, sayang kan udah jauh-jauh ke Pasuruan cuma mau nyantai doang, cuma tidur doang, mending tidur di Nurul Huda saja kan?"
"Bener juga sih, tapi apa kamu gak capek, gak penat pikiran kamu itu...?"
"Ya nggak lah An, aku bisa karena sudah terbiasa, malah aku itu ngerasa gak enak klo nyantai..."
"Emang benar-benar kamu tu ya... bertolak belakang banget sama aku..."
Nafisah tersenyum lebar mendengar kata-kata neng Anna. Karena dirasa malam semakin larut, neng Anna dan Nafisah pun memutuskan untuk beristirahat. Nafisah mengambil bantalnya dan merebahkan tubuhnya di karpet sebelah tempat tidur neng Anna.

KAMU SEDANG MEMBACA
Syahiidah (Tamat)
General FictionCerita ini menceritakan tentang perjalanan seorang santri dalam menempuh jalan hidupnya, tidak terkecuali kisah percintaannya, hingga ia menemui ajalnya, karena tragedi yang terjadi di pesantren, dan semoga, ia ditakdirkan untuk menjadi seorang Syah...