23. Rasa Ini

123 23 0
                                        

“Nafisah...”

“Yes?”

“Can I speak with you, after your lesson is over?”
(Bisa saya bicara sama kamu, setelah kamu ngajar?)

Nafisah mengangguk pelan, menyetujui permintaan ustadz Fauzan.

Teeet....... teeeet...... teeeet....

Bel pergantian jam telah berbunyi. Nafisah keluar dari kelas. Dia lebih dulu sampai ke kantor daripada ustadz Fauzan. Dia meletakkan lembaran absensi santri dan kitabnya di meja kerjanya. Kemudian menghidupkan komputernya dan mengerjakan beberapa data santri yang masih belum kelar. Beberapa waktu kemudian ustadz Fauzan tiba. Dia baru saja selesai mengisi pelajaran di kelas 6.

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumussalam...”

Nafisah tetap di tempat duduknya di pojok kantor Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Huda. Sedangkan ustadz Fauzan duduk membelakangi Nafisah. Agar ketika ada orang yang masuk dia tak curiga kepada mereka. Tak ada seorang pun disana, jadi mereka bisa sedikit bernapas lega, walau dalam hati tak henti-hentinya rasa gelisah menghantui  mereka.

“Ustadz Fauzan ingin bicara tentang apa?”

Nafisah yang mengawali pembicaraan dalam pertemuan waktu itu, dengan tetap fokus pada tulisan-tulisan di layar komputernya.

“Tentang rasa ini.”

Kali ini, ustadz Fauzan berbicara dengan bahasa Indonesia. Meski terdengar masih asing, tapi sudah jelas spellingnya.

“What?”

Nafisah menoleh ke arah ustadz Fauzan. Sesaat kemudian, tatapan mereka saling bertemu. Segera Nafisah memalingkan pandangannya.

“Ya, jujur sejak saya mengenal namamu lewat cerita-cerita adik saya Savira, hingga saya mengenal dirimu, secara langsung, saya sudah menyimpan rasa ini. Saya... saya... mengagumimu Nafisah... dan...”

Ustadz Fauzan tercekat diam. Menelan ludah. Nafisah sudah tak sabar menunggu kelanjutan kata-katanya. Sungguh, ini benar-benar diluar dugaannya.

“Saya tidak ingin hubungan kita terlalu lama berada dalam perbuatan dosa, saya sadar dan kamu pun pasti sadar bahwa apa yang telah kita berdua lalui sampai detik ini banyak mengandung dosa. Termasuk yang kita lakukan saat ini, berduaan dengan orang yang bukan mahrom.”

“Lalu... apa yang hendak ustadz Fauzan lakukan?”

“Saya akan berterus terang kepada abah tentang perasaan ini, saya mau mengkhitbahmu Nafisah.”

Kata-kata ustadz Fauzan yang terang-terangan, tanpa ada filter sedikitpun, pada Nafisah, membuat hati Nafisah sedikit berdesir. Secepat itukah, keinginannya akan tercapai?

“Apa ini tidak terlalu cepat ustadz? Saya dan ustadz Fauzan baru bertemu beberapa hari terakhir ini... ustadz Fauzan belum kenal saya lebih dekat begitupun sebaliknya...”

“Saya pikir tidak Nafisah. Kita sudah saling kenal satu sama lain, sejak lama...”

“Melalui cerita-cerita Savira tentang saya ke kamu, atau tentang kamu ke saya... semuanya sudah tak ada yang diragukan lagi...”

“Saya akan tetap melakukan itu..”

“Bagaimana mungkin itu akan terjadi ustadz Fauzan?”

“Insya'allah... jika keinginanku bersamaan dengan ridho Allah, semuanya akan terjadi Nafisah.”

“Saya hanya bisa mengamini doa ustadz Fauzan.”

Setelah berbicara beberapa kalimat itu, ustadz Fauzan pamit meninggalkan Nafisah. Beruntung. Setelah kepergian ustadz Fauzan, Anna sahabat Nafisah baru selesai mengajar di kelas 4. Dengan langkah yang sedikit dipaksakan Anna mendekati kursi panjang di ruang depan kantor. Sepertinya dia sangat letih.

Setelah rasa lelah dan letih Anna hilang dia pun kembali menemui Nafisah yang masih sibuk menulis data-data santri di layar komputernya. Dia mendapati Nafisah yang masih tersenyum-senyum sendiri.

“Kira-kira ada apa ya, sejak seminggu kemarin ustadzah Nafisah tampak begitu riang? Apalagi hari ini... kenapa sih, seneng banget kayaknya?”

Ustadzah Anna, sahabatnya menggodanya. Disadari atau tidak, memang selama beberapa hari terakhir ini, setelah pertemuannya dengan ustadz Fauzan, Nafisah terlihat semakin riang. Wajahnya semakin berseri-seri. Dan itu semua mungkin atas jasa-jasa Cinta yang mulai mewarnai kehidupan Nafisah. Nafisah hanya membalas candaan sahabatnya itu dengan seutas senyum. Membuat Anna semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya dialami Nafisah.

***

Biasakan meninggalkan jejak, setelah membaca.
Sentuh bintangnya!

See you next part!

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang