2. Nurul Huda

455 47 3
                                        

Selamat membaca cerita Syahiidah!

***

Subhanallah .... Pagi yang indah. Sekarang Nafisah dan kedua orang tuanya sudah duduk di ruang depan rumah besar milik salah seorang pengasuh pesantren di Jawa Tengah.

Subhanallah ... lagi dan lagi, kalimat itu yang mampu mewakili rasa kagum di hati Nafisah. Sungguh, pemandangan yang belum pernah Nafisah saksikan di kampung.

Tampak di sebelah utara, berjejer rapi asrama--tempat santri putri bertempat tinggal--melakukan aktifitasnya sehari-hari. Di sebelah barat, berjarak sekitar sepuluh meter, tampak asrama santri putra juga berjejer tak kalah rapinya. Di sebelah timur dan selatan, juga berjejer sekolah-sekolah formal dari tingkat madrasah ibtidaiyyah sampai Madrasah Aliyah. Dan tepat di tengah pusara bangunan yang menjulang tinggi itu, tempat pengasuh pesantren beserta keluarganya tinggal. Dan tepat di sebelah barat rumah kyai itu, sebuah langgar (madura.red/mushollah), yang menjadi pusat pembelajaran untuk diniyyahnya.

Bangunannya tersusun secara terstruktur. Dan alasan rumah kyai itu berada di tengah, adalah, agar setiap santri baik putra maupun putri, mampu terjangkau, dan terpantau aktivitasnya. Juga untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran aturan yang ditetapkan oleh pesantren.

Di belakang pondoknya, tampak pohon-pohon yang menjulang tinggi dan menghijau. Menyejukkan mata setiap orang yang memandangnya. Tempat itu masih terpelihara dengan suasana-suasana alami dan natural. Masih jauh dari pencemaran udara. Bangunan yang tampak sederhana, namun bisa membuat orang yang menatapnya tenteram.

Ya, itulah Nurul Huda. Tempat di mana Nafisah akan memulai hidupnya yang baru. Hehe ... kayak orang nikahan aja. Tempat itu akan menjadi tempat Nafisah menuntut ilmu dan membentuk kepribadiannya ke depan.

Selamat menempuh hidup baru Nafisah. Semoga betah, ya, di pondok.

Karena hari masih pagi, tampaklah sebuah pemandangan yang membuat Nafisah semakin terkagum-kagum, dan tak sabar ingin segera masuk ke dalamnya. Para santri putra dan putri keluar dengan rapi dari langgar utama pondok pesantren Nurul Huda yang diceritakan tadi, di mana masing-masing dari santri putri keluar dari pintu depan, dan santri putra dari pintu selatan, setelah mengikuti pengajian kitab kuning kepada pengasuh. Mereka mendekap kitabnya di dada, tatapan mereka tertunduk. Tak ada seorang pun yang membuat kekacauan. Begitu indah melihatnya.

Setelah Nariyah dan Hasan memasrahkan Nafisah kepada pak kyai Luthfan dan bu nyai Nur Jihan, selaku pimpinan utama pondok pesantren Nurul Huda, mereka mengantar Nafisah menuju asramanya. Nafisah tinggal di blok C, yang ada di lantai dua.

"Nafisah, Ayah dan Ibu sayang sama kamu. Jadilah kebanggaan kami, ya."

Meski kata-kata itu terdengar biasa saja, tetapi Nafisah bisa merasakan, betapa kedua orang tuanya sangat menyayanginya dan sangat berharap dia bisa menjadi kebanggaan mereka. Dan sejak Nariyah dan Hasan pertama membawa Nafisah ke Nurul Huda, Nafisah berjanji kepada dirinya sendiri untuk bisa mewujudkan mimpi kedua orang tuanya menjadi kebanggaan mereka. Bagi Nafisah, hanya dengan ini, dia mampu membalas kebaikan Nariyah dan Hasan yang selama ini telah mengasuhnya dengan baik.

"Insya'Allah, Yah, Bu. Doakan Nafisah."

"Ayah dan Ibu sayang sama kamu, kami pasti mendoakan kamu, Nak."

"Ayah dan Ibu pamit, ya."

"Hati-hati, Yah, Bu," ucap Nafisah pelan, sambil mencium tangan Nariyah dan Hasan secara bergantian.

Nafisah mengantar Hasan dan Nariyah sampai di pintu gerbang pesantren. Statusnya sekarang, adalah seorang SANTRI. Jadi, Nafisah harus mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan oleh pesantren mulai detik ini. Salah satunya, tidak boleh keluar lingkungan pesantren tanpa ijin dari pengasuh.

Bismillah ... Nafisah membulatkan tekat dalam hati, untuk memulai hidupnya di Nurul Huda.

***

Alhamdulillah, bagian dua udah selesai.

Jangan lupa bintang dan komennya, ya.

Terima kasih.

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang