4. Hannah

264 36 7
                                        

Ada seorang gadis yang sejak pertama menyantri di Nurul Huda terkenal baik dan sopan santunnya patut diacungi dua jempol. Tidak kalah dengan Shofiyah, juga sama dengan Nafisah. Dia juga cantik dan cerdas. Kiai Luthfan dan Nyai Nur pun tidak sungkan-sungkan untuk memujinya secara terang-terangan. Dia juga sudah beberapa kali dinobatkan sebagai santri teladan di pesantren Nurul Huda. Namanya Hannah Maisyaroh. Ya, namanya Hannah Maisyaroh, tetapi sering dipanggil Hannah.

Namun, menginjak usia remaja dan duduk di kelas MA, Hannah yang selalu disanjung-sanjung, ternyata menjadi tinggi hati dan merasa dirinya paling benar. Semua pujian dari orang-orang terdekatnya, malah menjadikannya buta mata hati. Hannah tumbuh menjadi seorang gadis yang angkuh dan tidak bisa dinasihati.

Sejak pertama melihat Nafisah yang tidak sengaja muncul di kelasnya waktu itu, Hannah sudah menampakkan ketidaksenangannya kepada gadis kecil itu. Wajar saja jika Hannah iri kepada Nafisah, karena dengan status santrinya yang baru seminggu di Nurul Huda, Nafisah sudah mampu membuat Kiai Luthfan kagum kepadanya. Apalagi saat ini Nafisah sudah menjadi bagian dari Alfiyyah satu, kelasnya.

***

"Hei, Anak Baru. Sini kamu."

Terdengar suara perempuan dengan nada agak ditekan memanggil Nafisah dari belakang. Waktu itu, Nafisah hendak mengambil wudu sebelum mengikuti pengajian kepada Kiai Luthfan. Nafisah melangkah mendekati gadis yang sedang menatapnya dengan sangat tajam tersebut. Gadis itu, Hannah. Teman Nafisah di kelas Alfiyyah satu yang sempat diceritakan barusan.

"Ya, Mbak, ada apa?" Nafisah bertanya dengan polos.

Hannah bersidekap. "Ada apa, ada apa. Jangan sok polos deh kamu."

Nafisah mengerutkan kening, tidak paham dengan arah pembicaraan gadis itu. Ia belum pernah berinteraksi dengan Hannah sebelumnya, tetapi kenapa ia seperti tidak suka padanya?

"Kamu enggak usah sok pandai, ya, di depan Kiai Luthfan."

Kerutan di kening Nafisah makin jelas. Makin ke sini, ucapan Hannah makin membingungkan. Apa hubungannya dirinya dengan Kiai Luthfan? Lalu kenapa ia yang marah? Karena penasaran, Nafisah pun bertanya, "Maksud Mbak Hannah apa?"

"Masih aja sok polos," ketus Hannah. Ia menatap tajam ke arah Nafisah. "Kalau saja, kamu enggak ikutan pengajian di kelasku, dan enggak sok-sokan jawab pertanyaan Kiai Luthfan, kemarin. Keadaan di kelasku pasti baik-baik saja."

Nafisah makin mengerutkan kening. Padahal, mereka baru saling kenal. Lalu mengapa gadis itu menatapnya sinis?

"Kiai Luthfan enggak akan menyudutkan aku, karena tidak menjawab. Perhatian Kiai Luthfan enggak mungkin hilang begitu saja sama aku, kalau kemarin kamu enggak ikut-ikutan."

Nafisah menganga. Ia benar-benar tidak paham dengan maksud ucapan Hannah.

"Lah, hubungannya dengan saya apa, Mbak?" Gadis itu bertanya dengan sikap polosnya. "Lagipula, saya sudah bilang kemarin, saya enggak sengaja masuk kelas itu."

"Berani kamu, ya."

Sebenarnya, Nafisah takut melihat reaksi Hannah yang mulai marah. Akan tetapi, Nafisah mencoba untuk berani melawan Hannah, agar ia tidak berbuat semena-mena pada dirinya. Meski masih kecil, kelas tujuh MTs, Nafisah memang dibiasakan berani melawan teman-teman yang suka meledek dia saat di SD oleh orang tuanya. Jadi, ia mulai terbiasa. Dan, hidup di pondok itu, mesti tahan banting menghadapi lingkungan yang jelas berbeda dengan waktu di rumah. Tidak boleh segera merasa ciut hanya karena sedikit ujian.

"Kalau Mbak Hannah ngerasa Kiai Luthfan udah enggak perhatian sama Mbak, harusnya mbak instropeksi diri. Siapa tahu udah banyak setan yang menguasai Mbak Hannah."

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang