24. Kedekatan Nafisah dan Neng Vira

134 18 0
                                    

"Mbak Nafisah..."

Seperti hari-hari yang telah lalu, setiap pagi menjelang waktu dhuha neng Vira; adik bungsu ustadz Fauzan; putra kyai Luthfan sang pengasuh pondok pesantren Nurul Huda itu, menyapanya dari bingkai jendela kamarnya yang berada di lantai dua dan bersebelahan dengan asrama santri putri blok D dan F. Wajah anggun neng Vira tak pernah letih menyunggingkan senyum khasnya. Begitu menyejukkan mata setiap orang yang memandangnya. Nafisah menjawab panggilannya sembari tersenyum.

"Bisa kesini sebentar mbak? saya ada perlunya."

Neng Vira melambaikan tangannya. Nafisah melangkahkan kakinya menuju arah kamar neng Vira. Neng Vira pun menyampaikan keinginannya untuk meminta bantuan Nafisah.

"Saya punya tugas mbak, tapi saya gak tau mulainya dari mana."

Neng Vira merengek seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan oleh orang tuanya. Nafisah meminta neng Vira membuka latopnya dan mulai membimbing neng vira mengerjakan tugasnya.

"Ya Allah... neng, ini laptop apa laboratorium biologi...?" Nafisah menyeringai.

"Mbak ini kenapa, masak laptop saya dibilang lab biologi... emang kenapa dengan laptop saya?"

"Habisnya laptopnya banyak sekali file biologinya."

"Mbak tahu sendiri saya sekolahnya jurusan apa?"

"Klo IPA, bukan hanya biologi doang neng..."

"Saya sukanya BIOLOGI doang mbak, ogah sama FISIKA dan KIMIA."

Neng Vira mengusutkan wajah cantiknya. Nafisah tertawa lebar melihat tingkah lakunya. Lalu meminta maaf atas gurauannya itu. Sesaat kemudian tawa mereka kembali meledak. Kedekatan mereka sudah bagai kakak dan adik, sangat dekat sekali. Bahkan neng Vira menyayangi Nafisah melebihi ketiga kakak dan mbaknya. Neng Vira sangat tidak senang jika ada seseorang yang mengganggu atau menyakitinya. Bahkan meski abah dan umminya. Waktu terus berlalu, tugas neng Vira hampir delapan puluh persen. Sesekali neng Vira menguap dan menyeka matanya yang mengeluarkan air mata. Nafisah mengambil alih pekerjaannya dan membiarkan neng Vira rehat sebentar.

"Astaghfirullah..." Desis Nafisah.

Neng Vira mengarahkan pandangannya pada Nafisah yang sedang kebingungan karena tiba-tiba laptopnya neng Vira nge-hank. Wajah anggun Nafisah tampak begitu serius dan tegang. Sesekali bola matanya melotot. Mendesis pelan karena laptopnya tak kunjung sembuh. Namun, Nafisah memang perempuan yang ulet, dia otak atik laptop neng Vira tanpa merespon ocehan-ocehan neng Vira karena takut terjadi sesuatu pada laptopnya. Menepuk-nepuk pundak Nafisah dan terus mengoceh.

"Bisa sabar sebentar nggak neng Savira yang cantik?"

Nafisah menatap tajam neng Vira. Kembali fokus pada layar laptopnya. Sesekali memegang kepalanya, Menggigit bibir, meletakkan dagunya diatas dua tangannya, mencoba beberapa langkah untuk mengatasi masalah itu. Wajahnya semakin tegang.

"Alhamdulillah..."

Laptop neng Vira kembali normal seperti semula. Neng Vira tersenyum simpul melihat hasil kerja Nafisah. Begitu puas dengan usaha yang dilakukannya. Lalu memeluk erat Nafisah. Betapa bahagianya hati Nafisah, kali ini pertama kalinya salah satu anggota keluarga kiyai Luthfan memeluknya.

"Ternyata mbak Nafisah itu selain cantik, baik hati, suka membantu orang lain, cerdas lagi... bukan hanya agamanya tapi formalnya juga, jadi kagum saya."

Neng Vira menggoda Nafisah.
"Baru tahu anti... Nafisah gitu loh."

Nafisah menjawab dengan percaya dirinya. Sambil sesekali menyeringai.

"Wah..., sombong ni ye..., awas lo, orang sombong ntar masuk neraka."

"Ya ampun neng Vira... lagian neng apaan sih bilang saya kayak gitu, jangan terlalu berlebihan neng, saya ini mahluk yang masih banyak dosa gak pantes dipuji kayak gitu."

Nafisah kembali merendahkan dirinya. Sadar, dia bukan siapa-siapa, dia hanya seorang pengamen ilmu di pondok pesantren abahnya yang kebetulan bisa menjadi bagian dari hidup neng Vira sejak dia berhasil membujuk neng Vira ketika nekad hendak melarikan diri dari pesantren.

***
Terima kasih sudah membaca.

See you next part!

Syahiidah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang