Jika kalian tidak berubah, kalian hanya akan jadi sampah negara, nggak guna! Pahlawan-pahlawan dulu berjuang sangat keras. Tapi kalian, hanya diberi tugas rumah saja tidak mau dikerjakan.
~•~
Pak Seno melangkah, masuk ke dalam ruang kelasku. Seketika semua murid terdiam mendengar ketukan langkahnya, terlebih ketika melihat wajahnya yang bengis. Siapapun akan terpaku melihat tatapannya yang beringas seperti singa yang lapar.
Ia membuka salam, lalu mengabsen kami tanpa seulas senyum. Benar-benar orang ini, masih pagi sudah mengawali keburukan.
"Silahkan kumpulkan PR kalian!" perintahnya, nadanya tinggi seperti diktator yang sedang menindas rakyatnya.
Bertemu mapel matematika dari pak Seno adalah mimpi buruk bagi murid-murid pemalas sepertiku. Lihatlah, sebentar lagi aku dan para murid-murid pemalas ini akan dipukuli lalu dijemur di lapangan upacara. Tidak hanya para pemalas-pemalas ini, murid-murid bodoh yang nilai matematikanya tidak mencapai KKM juga akan diperlakukan serupa.
Dalam lubuk hati terdalam, sesungguhnya aku tidak ingin menyebut pak Seno sebagai guru matematika, aku ingin menyebutnya sebagai guru tukang pukul yang mengajarkan murid-muridnya bagaimana bertindak kasar semestinya, pukul sana pukul sini, sampai sekujur badan bisa membiru. Dia kira badan ini batang pohon pisang yang bisa seenaknya dipukul-pukul? Sungguh orang itu. Suatu hari, mungkin ia akan bangga jika murid didiknya menjadi seorang petinju, pegulat, atau bahkan preman pasar.
Murid-murid mengumpulkan tugasnya ke depan. Beberapa murid yang tidak mengerjakan PR atau yang merasa tidak pintar dalam hal ini, memasang wajah memelas. Mereka sudah memasang ketabahan hati, diktator kejam bernama Seno itu akan segera menghajar kami. Tunggu saja waktunya, tidak lama lagi.
"Silahkan yang tidak mengerjakan PR, maju ke depan!" perintahnya.
Aku maju paling dulu. Hebi, temanku mengekor langkahku dari belakang. Sedangkan yang lainnya baru melangkah ke depan ketika aku dan Hebi sudah berdiri di depan papan tulis.
Pak Seno mengambil tongkat bambu. Tongkat yang sudah berjuta kali memakan korban, dan kali ini untuk kesekian kalinya kami akan menjadi korban lagi. Lihatlah wajah-wajah kami, sangat ketakutan, padahal kami sudah menjadi langganan korban pukulan pak Seno. Sampai aku bosan melihat luka yang membekas di badanku akibat dari pukulannya.
Kalau saja aku mau bersikap tidak sopan, sudah kupukul balik dia, kalau bisa kupukul pantatnya sedari dulu ketika pertama kali ia memukul pahaku. Tapi aku hanyalah murid dan pak Seno adalah seorang guru. Semacam peraturan antar manusia di dunia, memang sebaiknya seperti itu, tapi suara hati terkadang tak selaras dengan tindakan. Hati tak sebaik itu.
"Ini adalah pemalas-pemalas yang tidak punya masa depan!" cetusnya, seraya memukul para pemalas-pemalas ini. PlakPlakPlak!!!!
Apalah daya, sebagai murid kami hanya bisa menunduk. Dalam hukum pendidikan Indonesia, guru selalu benar, itulah aturan yang tidak tertulis di berbagai hukum dunia.
Tidak ada murid yang boleh melawan guru. Jika guru bersalah, harus segera dimaklumi, karena guru manusia biasa, apalagi beliau-beliaulah yang memberikan ilmu untuk kehidupan kita. Tapi jika murid bersalah, bersiaplah mendapat ganjaran berupa hukuman semacam yang akan kau saksikan nanti, yang akan menimpa pada diriku. Dalam masalah ini memang kami yang salah, kami tidak mengerjakan tugas darinya.
"Kalau begini terus, kapan Indonesia bisa maju!" Pak Seno terus mengoceh.
Harusnya aku tanya balik padanya, "jika gurunya mengajar dengan kekerasan, maka kekerasan antar siswa akan terus ada. Lalu jika terus seperti itu, bagaimana indonesia bisa maju?"
Tapi percuma saja, mereka akan berdalih "Bentuk kekerasan ini untuk kebaikan kalian, agar lebih disiplin." Begitu wejangan yang selalu kudengar dari orang-orang tua, yang mungkin mereka dapatkan dari nenek moyangnya.
Pendapat dan pertanyaanku ini akan dianggap lelucon, bahkan profesi-profesi di luar pendidikan mungkin juga akan beramai-ramai menyalahkan pendapatku ini. Sebab banyak orang tua mengaku bahwa masa sekolahnya dulu lebih keras dari sekarang, ada yang mengaku selalu dipukul gurunya setiap hari, atau mereka menceritakan bagaimana perjuangan keras mereka menempuh perjalanan menuju sekolah. Entahlah, masa mereka tentu berbeda dari kami, tapi orang-orang tua itu selalu membanding-bandingkan masa sekolahnya dengan generasi sekarang. Katanya perjuangan sekolah anak sekarang lebih mudah, dan itu salah satu penyebab semakin memburuknya moral remaja sekarang, anak remaja sekarang malas-malas dan manja, bergantung kepada orang tua, tidak punya nilai nasionalisme, blablablabla, katanya. Tapi entahlah, aku pun tak pernah tau moral remaja pasca kemerdekaan dulu. Apakah mereke benar-benar lebih baik dari kami?
Mengenai kekerasan dalam belajar, apakah pendidikan itu harus selalu dengan kekerasan? Baiklah, coba kalian pikirkan jawabannya.
"Sekarang kalian berdiri di lapangan upacara, hormat ke bendera!" perintah pak Seno.
Kami digiring pak Seno menuju lapangan upacara dengan cara dipukul-pukul menggunakan tongkat bambu. Beberapa dari kami semakin menundukan kepala sebab beberapa murid yang menyaksikan wajah-wajah melas kami mulai menyoraki dengan kata-kata merendahkan.
"Jika kalian tidak berubah, kalian hanya akan jadi sampah negara, nggak guna! Pahlawan-pahlawan dulu berjuang sangat keras. Tapi kalian, hanya diberi tugas rumah saja tidak mau dikerjakan. Mau jadi apa negara jika generasi-generasi penerusnya seperti kalian? Sekarang hormat ke bendera!" Itu kata-kata membosankan yang berulangkali kudengar dari mulut pak Seno. "Dulu pahlawan kita nangis darah, berjuang agar merah putih berkibar, sekarang kalian tidak perlu berjuang lagi, sebenarnya tugas kalian cukup belajar. Tapi malasnya minta ampun."
Ia terus mengoceh. Sekarang ia sedang beralih profesi menjadi guru PKN. Aku tak sabar ingin melihatnya menjauh dariku. Muak melihat wajah diktator ini.
"Tetap di sini sampai bell istirahat berbunyi!" ia melenggang.
#bersambung
Terimakasih sudah membaca..
Jangan lupa vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Anak Bodoh
General FictionSeorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketidak sukaannya pada sistem pendidikan di Indonesia, dan orang tuanya tidak mendukung dirinya menjadi se...