Pencipta karya literasi itu bicaranya adalah bakat.
~•●•~
Aku duduk di menara toren. Angin spoi-spoi berhilir menyentuh wajah, membuat rambutku melambai-lambai. Ini sangat menenangkan.
Dari balik pohon pisang itu, seseorang berkepala plontos tersenyum kepadaku. Tangannya melambai-lambai. Siapa lagi kalau bukan Lawai.
"Arfan!" teriaknya. "Sedang apa?"
"Mencari angin!" teriakku juga.
Lawai berjalan mendekati menara toren. Ia memanjat lalu duduk di sempingku.
"Sudah kau temukan anginnya?" Guraunya sembari tersenyum-senyum.
Aku mendorong bahunya. "Bercanda mulu," ketusku.
"Eh, memang aku sepertimu yang kaku seperti kawat."
"Setidaknya hidup itu bukan untuk bercanda."
Lawai menepuk pundakku. "Kau jadi lanjut di mana?" Suaranya lirih.
Aku mengangkat bahu. "Belum tau. Ayahku menyuruhku ngambil jurusan manajemen, tapi aku nggak mau. Aku ingin masuk jurusan sastra."
Lawai menatap ke depan. Angin-angin itu membuat daun-daun pepohonan bergoyang-goyang. "Lalu apa rencanamu ke depan?"
"Mungkin aku akan bekerja. Aku belum akan kuliah jika ayah belum mengizinkanku masuk ke jurusan sastra. Atau mungkin aku akan kuliah dengan jerih payahku sendiri."
"Kenapa harus jurusan sastra? Aku tau itu mungkin passionmu, tapi untuk menjadi seorang penulis nggak harus masuk ke sastra juga," ujarnya. "Andrea Hirata adalah penulis hebat, di berlatar belakang ilmu Ekonomi, Dee Lestari juga seorang Sarjana Ilmu Politik, bahkan Tere Liye adalah seorang akuntan."
Aku menghela nafas. Apa yang dikatakan Lawai memang benar, seorang penulis tidak harus bersekolah sastra, bahkan orang yang bersekolah sastra belum tentu bisa menulis. Pencipta karya literasi itu bicaranya adalah bakat.
"Tapi aku takut. Aku nggak mau tersesat lagi," gumamku.
Lawai menoleh kepadaku. "Tersesat?"
"Selama ini aku tersesat di akuntansi. 3 tahun belajar akuntansi, hanya ijazah dan otak kosong yang kudapat"
Lawai menghela nafas. Ia menepuk pundakku. "Semoga ayahmu mengizinkanmu masuk ke jurusan sastra."
~•●•~
Aku dan Ayah mengantar Kak Adam ke Bandar Udara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan. Ia akan melanjutkan studynya di Malaysia. Langkah kakinya kini akan mulai menjalar-jalar ke luar negeri. Betapa hebatnya kakakku ini.
Ayah tampak berseri-seri selama di bandara itu. Ia memeluk Kak Adam, "Ayah bangga padamu," ucapnya.
Kamudian kami pulang setelah kak Adam lepas landas dengan pasawatnya itu. Ayah tak sekalipun berkata-kata ketika di mobil. Bahkan ia tak membicaralan kelanjutan studyku. Ia seperti tak memperdulikan nasib diriku ke dapannya.
Setelah lulus sekolah aku bersungguh-sungguh dalam bidang di kepenulisan. Aku beberapa kali mengikuti workshop literasi, lalu mengirim naskah novelku ke penerbit, tapi kali ini lewat surat elektronik (surel).
3 bulan kemudian aku benar-benar tak mendapatkan konfirmasi apapun dari penerbit. Padahal di dalam alamat web penerbit, tertulis "surel berupa pengiriman naskah novel akan dikonfirmasi selambat-lambatnya 3 bulan setelah surel diterima oleh penerbit". Tapi sungguh tak ada balasan apapun dari penerbit, padahal surelku sudah terkirim. Entah karena salah alamat surel, belum sampai tujuan, atau etikanya yang salah dalam mengirim naskah novel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Anak Bodoh
General FictionSeorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketidak sukaannya pada sistem pendidikan di Indonesia, dan orang tuanya tidak mendukung dirinya menjadi se...