Katika kami -Pelakon Teater- menampilkan sesuatu yang menakjubkan di atas panggung, seakan-akan seluruh penjuru dunia bertepuk tangan untuk kami. Dan setiap yang ditampilkan dalam sebuah panggung bagai candu yang akan menimbulkan rindu untuk tampil kembali di hadapan ratusan pasang mata.
~•●•~
September tahun 2023.
Aku mengakhiri masa kuliahku dengan rasa yang bangga dan bahagia. Menjadi salah satu lulusan terbaik di fakultas Sastra adalah hal yang luar biasa untukku. Ini mungkin akan menjadi catatan yang tak akan luput dari perjalanan hidupku.
Ibu dan Kak Adam yang menghadiri acara wisudaku juga tampak tersenyum-senyum melihatku naik ke atas panggung dengan piagam penghargaan yang terkalung di leherku. Sejujurnya aku begitu terharu, untuk pertama kali aku membuat Ibu tersenyum. Orang-orang se ruangan juga ramai bertepuk tangan untukku.
"Ibu Bangga padamu," ujar Ibu sembari memelukku. Aku benar-benar merasakan pelukan hangatnya.
"Makasih bu." Aku berkaca-kaca hendak menangis, tapi aku menahannya. Malu kali jika aku menangis, tak pernah sekali pun aku menangis di hadapan Ibu, kecuali ketika bayi.
"Kamu Hebat," ujar Kak Adam. Ia mengelus rambutku sekali ketika aku terdekap di hadapan Ibu.
Beberapa detik kemudian, aku benar-benar tak bisa menahan air mata. Aku menitikan air mata di hadapan Ibu dan Kak Adam.
"Kenapa menangis?" tanya Ibu.
"Nggak papa," ujarku sembari menyeka air mataku.
Hari itu, aku benar-benar trenyuh dalam kebahagiaan. Aku sungguh jarang menangis dalam hati yang berbunga-bunga, atau bahkan tidak pernah. Apa yang kurasakan benar-benar tak bisa kugambarkan dengan kata-kata, seakan sagala energi positif sedang berkumpul di sekitarku. Aku sungguh merasakan itu.
~•●•~
Belum genap 1 minggu berbahagia atas prestasiku, kabar baik menghampiriku lagi.
Kala itu Lawai pulang sore setelah ada jadwal manggung di Bogor. Ia kemudian membuka pintu kamar, lalu merebahkan badannya. Matanya tampak sayu.
"Sholat Maghrib dulu," ujarku mengingatkan.
Lawai tak menanggapi, ia justru memejamkan matanya sembari menggeragapi sesuati di saku celananya. Matanya mengerjap-ngerjap ke arahku.
"Gimana Manggungnya?"
Lawai masih diam membisu. Sejurus kemudian, ia melemparkan sebuah buntalan kertas ke arah dadaku. "Baca tuh," gumamnya.
"Apaan nih?" tanyaku.
Lantas kubuka buntalan kertas itu. Dan terkejut bukan main ketika tau bahwa kertas itu merupakan brosur pendaftaran untuk audisi pertunjukan sastra di Jakarta.
Sore itu aku begitu kegirangan, sampai lupa mandi. Brosur itu membuka harapan baik untukku yang menginginkan tampil dari panggung ke panggung sebagai pecinta sastra, sebagai pelakon teater.
Keesokan harinya, aku pun langsung bergegas ke tempat audisi dan mempersiapkan diri untuk menampilkan segala yang kubisa. Sekitar 300 orang mengantri di tempat audisi tersebut. Aku mungkin berada di barisan paling belakang yang mendapat giliran beraudisi.
3 minggu setelah audisi, aku dikabarkan lolos. Pihak yang bersangkutan mengirimkan surel untukku untuk mengkonfirmasi hal ini.
Aku sungguh bahagia membaca kabar ini. Penantian lama akhirnya terwujud juga. Tak akan kusia-siakan.
Awal tahun 2024, akhirnya aku resmi menjadi anggota tetap grup pertunjukan sastra ini. Aku sudah seringkali melakukan perform antar kota bersama Lawai dan yang lainnya. Bahkan terkadang aku mendapat bagian untuk menulis naskah drama yang akan dipertunjukan.
Ini benar-benar menyenangkan. Katika kami -Pelakon Teater- menampilkan sesuatu yang menakjubkan di atas panggung, seakan-akan seluruh penjuru dunia bertepuk tangan untuk kami. Dan setiap yang ditampilkan dalam sebuah panggung bagai candu yang akan menimbulkan rindu untuk tampil kembali di hadapan ratusan pasang mata. Aku benar-benar selalu menantikan jadwal-jadwal manggung, aku selalu merindukan acara-acara sastra di hari-hari rehat.
Begitu juga dengan orang-orang teater yang hangat dan ramah, yang pantas kurindukan atas dedikasi dan solidaritasnya. Beberapa bulan bekerja sama dengan mereka, rasanya adalah pengalaman yang begitu berharga. Mereka adalah gambaran orang-orang bahagia meski pendapatan dari hasil manggungnya tak seberapa. Mereka menikmati karena hobi, karena cinta. Dan aku merasakan hal itu bersama mereka.
Itu adalah pilihan hidup. Kamu hidup dengan passionmu, kamu bahagia menikmati, tapi hidupmu bisa susah-miskin-. Atau kamu hidup di luar passionmu, kamu bisa saja kaya, tapi kamu tidak benar-benar hidup, hidupmu seperti tak berarti. Akan sangat menyenangkan jika pekerjaan passionmu menghasilkan banyak uang, mungkin dunia akan menjadi milikmu. Akan sangat buruk jika kamu keluar dari passionmu, mengharapkan yang lebih baik tapi justru yang kamu dapatkan adalah hilang arah, tersesat dan justru itu lebih buruk dari apa yang dibayangkan. Kamu akan merasa berjalan tanpa tujuan.
Hidup itu pilihan, dan aku memilih hidup bersama passion. Persetan dengan harta kekayaan, aku hanya ingin melakukan apa yang membuatku nyaman dan bahagia.
Seperti yang tengah kulakoni. Tentu saja menjadi seorang aktor panggung upah gajinya tak sebesar aktor untuk layar lebar.
Karena penghasilan yang tak menentu sebagai pelakon sastra, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi seorang guru honorer SMA di daerah pinggiran kota Jakarta. Mau dikata apa lagi, Manusia memang membutuhkan uang. Memang benar kata ayah dulu, prospek kerja untuk jurusan sastra Indonesia terbilang sedikit, karena itu aku mengambil tawaran ini; menjadi guru honorer Bahasa Indonesia. Padahal sedari dulu, aku tak sedikit pun ingin menjadi guru. Bagiku, mengatur anak satu kelas adalah hal yang memusingkan, tapi kebutuhan akan uang telah memanggilku untuk berdiri di depan kelas menghadap murid-murid dengan berbagai karakter. Mau dikata apa lagi, mungkin ini sudah jalannya.
Awalnya memang begitu, memusingkan. Tapi lama-lama aku beradaptasi. Aku tak tau ini benar atau salah, aku mencoba untuk bersikap dingin kepada murid-murid yang memberontak. Sebanarnya agak memusingkan jika dipikirkan.
Tapi pelanggaran aturan sekolah oleh murid-murid badung juga terjadi bukan sepenuhnya karena kesalahan murid-murid itu, ini terjadi karena... yahh sistem pendidikan Indonesia yang monoton dari tahun ke tahun; tak ada perubahan yang signifikan. Sehingga banyak anak bangsa yang malas-malasan berangkat sekolah, yang lainnya ada yang hanya ingin mendapatkan uang jajan. Meski begitu, tak ada yang berani menunjukan suaranya untuk mengubah sistem pendidikan Indonesia. Beberapa buku yang membahas pendidikan negara kita pun luput dibaca oleh pihak yang berwenang, entah itu sengaja atau berpura-pura rabun.
Sejujurnya, Guru juga tak patut disalahkan karena mereka hanya menjalankan sistem. Tapi akan lebih baik jika guru itu bisa merubah pandangan murid terhadap sistem pendidikan yang monoton ini. Entah bagaimana caranya, aku juga sedang mencari-cari cara agar sistem mengajarku bisa dinikmati oleh semua muridku.
Sejujurnya, menjadi guru tak semudah yang dipikirkan oleh jidat-jidatnya para murid yang sering lupa mengerjakan PR. Ketika seorang murid tak menuruti perintah Guru, sejujurnya ada rasa marah di hati kami meski beberapa guru bisa menahannya. Tapi sesungguhnya itulah yang akan terjadi di setiap sekolah; akan selalu ada orang-orang yang memberontak seperti diriku sewaktu remaja dulu hehehe. Dan Guru sebisa mungkin harus membiasakan diri.
Menyadari hal ini, aku menjadi merasa bersalah kepada Pak Seno, Bu Sania, dan guru-guru lainnya yang pernah menghadapi kerewelanku. Sejujurnya, kala itu aku begitu membenci sistem pendidikan negara kita, tapi kebencianku kuimbaskan kepada Pak Seno dan lainnya. Ahhh berdosanya diriku.
Aku berjanji, jika ada waktu senggang, akan kutemui mereka -guru-guruku- dan memohon maaf atas perlakuanku dulu.
Terimakasih sudah membaca
#bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Anak Bodoh
General FictionSeorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketidak sukaannya pada sistem pendidikan di Indonesia, dan orang tuanya tidak mendukung dirinya menjadi se...